Nyerah Sepedahan ke Bantiger, Langsung Putar Balik Jumatan sama Orang Turki

“Besok kalian agendanya mau ngapain?” tanya grospapi setelah makan malam. Karena jadwal main ke Interlaken masih nanti weekend, jadi kami menghabiskan hari-hari di Bern. “Kayaknya mau jalan-jalan sekitar sini, eyang, terus lihat-lihat ke belakang sana,” jawab saya sambil menunjuk bukit hijau yang tampak dari jendela rumah grosmami dan grospapi di Ostermundigen, Bern, Swiss.

”Oh kalau gitu naik sepeda saja, lebih enak kan daripada jalan kaki? Gak capek, betul kan? Coba cek dulu ya sepedanya,” kata grospapi yang kemudian mengajak kami ke basement, tempat grospapi menyimpan semua sepedanya. Ketiganya dalam kondisi baik, hanya perlu dipompa sedikit. “Yang ini sudah agak tua, gak terlalu nyaman tapi masih bagus kok,” grospapi menunjuk sepeda wanita berwarna abu-abu. ”Gak masalah eyang, lagian cuman buat jalan-jalan situ doang, bukan mau balapan,” kata Mas Gepeng sambil dia mompa sepeda.

Baca juga dong: Mau Menghabiskan Masa Tua di Swiss?

Naik gunung

Pagi itu langit masih mendung sisa hujan semalam. Prediksi cuaca, hujan akan datang lagi nanti sore, jadi paling benar sepedahan dari pagi setelah sarapan, lalu siangnya mampir ke pesta ulang tahun Mewa, sepupu kami. “Lho Justin pakai baju begitu saja? Anginnya dingin lho,” grospapi lalu meminta grosmami ambil jaket dan memberikannya ke saya padahal saat itu saya sudah pakai dua baju, tapi tambah jaket punya grosmami. Dia juga meminjamkan jaketnya ke Mas Gepeng. Ternyata itu ide yang tepat! Baru keluar halaman saja sudah kencang anginnya. “Hueee enaaakk angeeet…” kata saya riang. Bisa jadi karena kualitas jaketnya mumpuni, atau kualitas hangat kasih sayangnya yang tembus sampai ke hati kami.

Kami lalu mulai sepedahan. Titik start dari Ostermundigen, targetnya naik sampai kaki Gunung Bantiger. Mas Gepeng mimpin di depan karena dia sudah cek jalurnya duluan via Google Maps. Gowes… Gowes… Ternyata benar kata grospapi, sepeda ini gak nyaman wkwk. Apa ya, gak aerodinamis gitu. Tapi yang penting gigi dan remnya bekerja dengan baik. Lagian saya memang gak pernah sepedahan, jadi mau kayak apa juga sepedanya ya sama saja. Sama-sama bikin capek hahaha.

Ostermundigen bisa dibilang juga pinggiran Bern. Dia gak dekat dengan berbagai gedung tua bertingkat atau toko-toko, melainkan ke pabrik atau perkebunan yang dikelola perusahaan kecil. Kami awalnya lewat jalan kecil di antara sawah (atau padang rumput ya), lalu karena kami ternyata merebut area pejalan kaki, jadi kami melipir dan pindah ke jalan besar. Secara umum, jalan besar di Ostermundigen sangat terawat. Gak ada lubang, gak ada polisi tidur, juga gak ada tukang gali pipa kabel listrik. Kami mengayuh santai, yang lama kelamaan capek juga karena jalannya agak nanjak.

Setelah mengikuti jalan besar dan tampak diujung sana adalah pintu masuk tol, kami melipir masuk-masuk gang. Kami bertemu pabrik kayu. Ukurannya hanya segudang gitu saja tapi ada dua bangunan. Kanan kiri masih ada lapangan hijau dengan rumput tinggi, ada juga pepohonan. Asri banget lingkungannya. Kami juga mampir-mampir lihat rumah yang pelihara ayam dan kelinci, lalu pas jalan menanjak, saya melihat peternakan sapi di kanan jalan.

“Oyong berhenti sebentar, ada sapi!” teriak saya dari belakang. Paling menyenangkan lihat sapi di lapangan luas, kayak bikin tenang gitu. Kalau misalnya boleh masuk, wah saya bisa guling-guling terus bobok bareng sapi hahaha.

Setelah mengamati sapi, kami lanjut menanjak. Untungnya jalan tanjakan ini gak ekstrim, masih lumayan alus dan gak bikin megap-megap. Saya sering banget berhenti, yah namanya juga pemalas, saya gak kuat lah disuruh sepedahan kayak gini wkwk. Tapi sekali lagi, beruntung jalanan gak curam dan adem banget cuacanya. Tambah lagi pemandangannya ciamik, bikin lupa kalau lagi capek.

Kami berhenti sebentar untuk istirahat. Awalnya, saya kira kami duduk di pinggir jalan yang memang disediakan untuk melipir, ternyata itu jalan masuk rumah yang lokasinya persis di atas tebing yang kami sandari. “Ya ampun, itu rumah banget?” ucap saya kaget. Antara kaget kok ada orang bikin rumah di atas tebing, sama kaget kok ada yang begitu beruntung punya rumah di atas tebing dan pemandangan depannya adalah langit dan hamparan hijau. Saya sempat sok mondar mandir berharap orang rumah ngeh ada kami terus diajak mampir. Tentu saja itu hanya angankuuu anganmuuu….

Setelah lanjut jalan menanjak lagi, kami iseng belok ke jalan kecil yang kanan kirinya pepohonan. Ketika diteruskan, ternyata dia jalan kecil dengan rerumputan hijau di kanan kiri. Cantik sekali. Kami melambatkan kayuh, menikmati angin dan suara daun-daun bergesekan. Wah. Kok bisa ada tempat sepedahan sebegini indah? “Bisa gak aku piknik aja di tengah jalan sini, enak bisa guling-guling,” kata saya. Baru ngomong gitu, eh ada mobil bak lewat wkwkwk.

Rumah di sekitar sini jaraknya jauh-jauhan, mungkin karena mereka punya halaman yang luas jadi tampak berjarak. Rumahnya juga kebanyakan model lama gitu, yang masih pakai kayu-kayu, lalu ada pot bunga di jendelanya juga pajangan lucu di tangga menuju pintu masuk. Apa rasanya bangun tidur di rumah itu? Saat perut lapar dan malas masak, harus turun gunung dulu buat beli mi instan wkwk. Tapi kan bisa masak rumput ya. Lagian tadi kami melewati restoran kecil, juga ada kedai sayur yang lagi ada promo beli tomat. Siapa tahu tetangganya ada yang jual nasi rames kan.

Kami lanjut lagi ke atas, terus naik perlaha, dan akhirnya berada di suatu titik saya berucap, “Kayaknya enak nih kalau turunan, adem kan kena angin, turun saja yuk Oyong.” Mas Gepeng memincingkan mata dan tertawa. Tahu lah dia ogut sudah capek nih nanjak terus. Lagian kaki Gunung Bantiger ternyata jauh banget malih! Kami baru jalan menuju kaki gunung, itu juga gak habis-habis. Kelihatan dekat dari rumah grospapi, eh pas didekatin, gak sampai-sampai. Akhirnya setelah foto-foto bentar, kami turun. Syuuuurrrr meluncur. Asyik banget gak pakai gowes!

Gini kek dari tadi.

Turun gunung

Pas turun gunung, saya yang memimpin jalan. Karena saya gak ingat jalan mana yang kami lewati tadi, jadi saya asal-asal belok saja. Eh ternyata malah masuk kawasan perumahan orang kaya. Rumahnya besar-besar betul. Pekarangan dan garasinya pun ekstra. Kami lihat-lihat rumah di setiap gang, gak ada yang dijual. Lagian kalau ada, mau jual semua organ badan kayaknya gak bisa buat beli rumah di sini wkwk. “Eh ada kucing!” saya berteriak lalu mengarahkan sepeda ke halaman rumah orang. Kami parkir sebentar buat main kucing. Duh asal kalian tofu, jarang banget ada kucing di Bern sini. Terus sekalinya ada ya cakep kinyis-kinyis gitu. Kucing jelata Swiss memang berbeza.

Mas Gepeng awalnya khawatir karena meski hanya diujung halaman depan jauh dari rumah utama, kami bisa saja disangka trespassing terus bisa dimarahi orang. Tapi gimana, kucingnya gak nyamperin pas dipanggil, jadi kami yang ke situ. Semoga gak ada yang marah yah. Suwer kami hanya main kucing saja. Main sampai ikut tidur-tidur wkwkwk.

Baca juga dong: Kucing-Kucing di Cinere Gandul

Setelah puas main kucing, kami lanjut turun. Kali ini Mas Gepeng yang mimpin karena saya gak mungkin tahu arah jalan pulang. “Oyong, kita ke masjid yuk, aku mau jumatan ah,” ajak Mas Gepeng. “Lho memang ada masjid di sini?” tanya saya heran. “Di bawah sana ada kok. Ada dua malah, yang satu dekat rumah Eyang,” Mas Gepeng pun nunjukin lokasinya di Google Maps. Jadi destinasi kami selanjutnya adalah ke masjid yang lokasinya di Ostermundigen. Namanya Bern Türk Diyanet Camii.

Dari Bolligen menuju masjid gak butuh waktu lama karena jalannya turun terus. Ada beberapa tanjakan kecil, tapi gak bikin engap. Malah yang sedih itu matahari bersinar terik sekali, saya mulai kepanasan meski ya ada angin semilir juga. Kebayang gak sih? Sepedahan di bawah matahari tapi ada angin juga. Gerah-gerah dingin. Gitu deh pemirsa haha. Ternyata gak hanya di Indonesia yang kalau mau hujan, hawanya jadi gerah. Di Swiss juga.

Sesampainya di masjid, Mas Gepeng langsung gabung sama para ikhwan ganteng. Saya sempat dilihatin sama mereka, apa karena saya gak ikutan solat yah hahaha. Karena saya (((muslimah baik-baik))), jadi saya nunduk saja. Silau lagian. Saya menunggu di bawah bayangan pohon dekat portal jalan dan meneguk air minum. Gak ada wanita di sekitar sini yang menunggui kekasihnya jumatan. Saya benar-benar sendiri, tanpa kucing, tanpa ayam. Eh ada ayam, tapi di dalam bangunan depan sana. Masa iya saya ke sana terus izin mau ajak main ayam.

Kata Mas Gepeng, mayoritas jamaah adalah orang Turki. Mungkin kawasan di situ memang isinya orang sana ya. Meskipun begitu, ceramahnya menggunakan bahasa Arab kok, jadi Mas Gepeng amin amin terus wkwk. Di sebelah masjid, ada tukang jual kebab dan pizza. Menggiurkan sekali. Tapi sayangnya, bikin hati saya hancur. Harganya Fr10 alias 170ribu sebiji. Jadi pas si empunya warung balik dari Jumatan dan ngajak saya mampir, saya hanya tersenyum kecut dan menggelengkan kepala #TakutLangsungMiskin #ThankyouNext

Kami sepedahan sekitar empat jam dan pas jam setengah dua siang, kami sudah balik dan mampir ke acara ulang tahun Mewa. “Haiii ya ampun kalian sepedahan, ke mana saja?” sambut Tante Seri sambil menyiapkan minuman dan cemilan buat kami. Kami menceritakan rute dan lokasi-lokasi yang kami lewati, juga betapa cantik pemandangan di atas sana. “Wah saya sih belum pernah naik sepeda sampai ke sana, capek ya nanjak gitu, gak mau deh hahaha,” kata Tante Seri sambil memberikan kaleng minuman ke kami. “Kalian mau yang mana, itu ada jus jeruk, atau Ninjo mau ini? Ada alkoholnya, gak papa?” tawar Tante Seri. Mas Gepeng ambil yang ditawari Tante Seri, sementara saya tentu minum jus jeruk, saya gak suka bau minuman beralkohol.

Hmm, habis jumatan terus minum bir. Seimbang ya.

Kami bermain di situ sepanjang sore. Kami juga ikutan video call dengan papinya Mewa, Om Uya, yang lagi ada di Bali. Btw gaes, Om Uya itu abis ngetrip naik mobil jeep keliling Tanzania selama sebulan lho! Keren ya! “Kalian harus coba lah ke Afrika, ini gue pokoknya harus bawa Mewa lah nanti jalan-jalan ke sana,” kata Om Uya. “Wah Om, habis berapa trip keren begitu?” tanya Mas Gepeng. “Kalau gak salah ya, kasarannya, seratus dua puluh apa tiga puluh jutaan lah sendiri,” #justinindyoPengsan #Bye

Hari itu ditutup dengan kami sepedahan pulang sambil hujan-hujanan. Senang betul hari itu. Apalagi ternyata di rumah, grosmami sudah siapkan makan malam romaine salad dengan keju, rice salad, ayam goreng, dan salami. Duh bisa gak sih kami di sini saja gak usah pulang?

Kamu pernah sepedahan di tempat yang indah-indah gitu gak?