Ada sebuah tempat makan mie jawa langganan saya dan Mas Gepeng, yang sepertinya udah jadi satu-satunya tempat yang kami tuju kalo mau makan mie jawa selama 6 bulan belakangan ini. Warungnya sederhana saja, gak heboh dengan musik akustik atau bunyi srang sreng srang sreng yang meriah. Apa yang membuat tempat makan ini istimewa selain rasanya yang enak? Konsistensi. Dari awal saya makan sampai detik ini, rasa mie godog cemek yang saya pesan gak pernah berubah. Selalu dengan takaran yang sama, dengan rasa yang sama, komposisi yang sama, suhu yang sama, dan tentu saja menghasilkan kepuasan yang selalu sama. Gak mudah menjadi konsisten. Kalo kata iklan pasta gigi, butuh 21 hari untuk membuat sesuatu jadi sebuah kebiasaan. Tapi ada satu hal yang rasanya gak mungkin untuk jadi konsisten.
Sudah 4 bulan sejak terakhir kali saya pergi ke obgyn, yang saat itu catatannya adalah saya minum obat untuk menipiskan sel telur dan diusahakan berhubungan 2 hari sekali yang setelahnya harus ditekuk kakinya selama 20 menit. Awalnya saya bisa santai melihat gambar kartun yang digambar si dokter -serius gambarnya jelek banget. Tapi pas saya keluar klinik, kaki saya berhenti. Mata saya kosong menatap hiruk pikuk jalanan. Hati saya seperti gak berbentuk.
“Ah, sudahlah. Laper aja ini mah…”, gumam saya.
Mengabaikan gejala itu, saya lakukan saran dokter meski dengan susah payah. Jujur, saya bukan tipe yang dengan mudah dibikin horny terus ohok-ohok terus besok begitu lagi. Tapi demi program yang lancar, saya berusaha. Sampai suatu ketika saya merasakan sedikit keram dirahim, sebuah tanda haid akan datang beberapa hari lagi.
Untuk kesekian kalinya, saya sakit hati.
Saya berusaha menenangkan diri dengan “yaudah gak papa, namanya juga usaha toh rejeki Alloh macem-macem, tuh tadi makan siang gratis kenyang senang ya kan”, begitu terus setiap bulan. Memang rejeki Alloh selalu berlimpah setiap hari. Tapi gara-gara haid, semua itu terasa fana. Apalagi kalo buka Instagram terus ngeliat feed temen foto dedek bayinya lagi cekikian atau lagi melongo. Rasanya semua dunia hancur. Rasanya semua sangat jahat. Saya pun menjauh dari perkumpulan. Menjauh dari perbincangan tentang kabar kehamilan sahabat. Menjauh dari kabar-kabar bahagia. Benci, dengan kabar-kabar bahagia.
Dan saya tau ini udah kurang ajar.
Ini udah jadi penyakit menjalar yang ganas. Menggerogoti setiap kebahagiaan yang saya temukan. Mematikan empati. Menjauhkan saya dari semua suka cita. Ini sungguh udah kelewatan.
Program hamil ini ternyata gak berbuah baik, untuk saya secara pribadi. Setiap bulan saya punya ekspektasi lebih, namun selalu berakhir kecewa dan sakitnya jadi berkali-kali lipat. Setiap haid, hati saya hancur. Menangis sendirian di kamar mandi. Sujud solat pun gak berasa apa-apa karena hati sedang marah sekaligus putus asa. Iri melihat teman-teman. Menyalahkan keadaan. Menyalahkan suami. Menyalahkan diri sendiri.
Begitu terus setiap bulan.
Saya sampai ngambek marah ke Mama, kalo setiap bertemu dan yang ditanya tentang ini tu sangat menyakitkan. Apakah hal lain tentang saya gak menarik lagi selain saya yang gak hamil-hamil?
Saya yakin banyak sekali yang akan senang kalo saya hamil. Saya pun yakin bahagia saya akan meluap-luap ketika saya melahirkan seorang anak. Tapi saya lebih yakin, anak itu rejeki Alloh. Saya diberi kesempatan memilih satu dari miliaran umatNya untuk hidup bersama, tapi sekali lagi, anak itu rejeki Alloh. Dan saya gak mau menyia-nyiakan hidup yang udah saya bangun sampai sekarang. Hidup saya luar biasa. Mas Gepeng, rumah, pekerjaan, teman-teman, keluarga, jalan-jalan, makanan enak, hidup saya gak harus disakiti hanya karena saya belum hamil.
Akhirnya saya berhenti ke dokter. Program hamil saya pending sampai entah kapan. Saya ingin menikmati hari-hari saya, bersama Mas Gepeng, bersama teman-teman, bersama burung-burung, bersama para kucing liar, bersama Upan, bersama hujan, bersama bau embun menetes dari dahan markisa. Saya memilih berhenti, untuk kembali berjalan dilangkah-langkah maha nikmat yang tergelar lebar di depan mata. Saya tau saya berada dijalan yang benar.
Saya pilih jalan yang bisa saya nikmati.
Setiap pagi saya selalu memantrai diri. Menyebutkan hal-hal baik yang akan terjadi sepanjang hari. Sebelum tidur, saya mengulangi menyebutkan hal-hal baik itu. Memaafkan khilaf yang dibuat oleh saya dan orang lain. Dan saat bangun tidur, saya akan kembali memantrai diri dan semakin menikmati hidup.
Memang saya belum berani menengok teman yang baru melahirkan, tapi saya udah bisa ketawa melihat video dedek bayi keselek atau tidur sambil bibirnya manyun-manyun. Apa yang lebih baik dari bahagia melihat orang lain bahagia?
4 Comments. Leave new
Yeayyyy, mantra mantra yang baik terus yah tin, semangat, bahagia, senyum, syukur, makan enak, jalan-jalan, dan jangan telat makan nanti maag.
Makasih Mba Tey. Muah!
Sama dengan diriku. Bedanya orang nggak bosan nanya kapan nikah sama aku. Jawabannya sih doakan saja.
Semoga mbak selalu bahagia ya
Tipikal pertanyaan basa basi ya. Amin, semoga kamu juga yaa