Jika kemarin saya bisa kelihatan sangat hura hura di Papandayan, di pendakian pertama saya di Gunung Gede masuk kategori serius. Pasalnya tiga hari paska pendakian, otot kaki saya masih njarem parah. Boro-boro naik turun tangga, mau napak turun dari kasur aja rasanya seperti diremas-remas. Paling gak karuan pas duduk di wc, atau pas duduk atahiyat. Gak karuan. Tapi terlepas dari segala njarem otot dan tubuh yang masih suka kegerahan akibat aklimatisasi yang belum selesai, pendakian saya, Mas Gepeng, dan teman-teman kami lainnya adalah salah satu super highlight of the year.
Kami berdelapan berangkat Jumat malam dari Jakarta menuju Taman Nasional Mandalawangi, Cibodas. Perjalanan hanya memakan waktu 3 jam mungkin karena hari itu lagi ada demo para anti-Ahok jadi orang-orang udah antisipasi pulang lebih awal. Happy yah waktu tidurnya jadi lebih panjang. Kami stay di sebuah warung yang menyediakan makan dan tempat istirahat. Saya yang paling mengantuk tidur duluan dan ninggalin handphone dicharge tepat diatas kepala. Ketika bangun jam 5 pagi, saya (dan Kak Lembah) mendapati handphone kami raib dicuri manusia tolol yang pura-pura tidur bergabung sama kami dan pendaki lainnya di warung tersebut. Manusia tolol malingi manusia tolol juga hahahaha, karena salah kami juga sih gak mengamankan hp pas dicharge. Yaudahlah yaa, gapapa foto-foto perjalanan saya ke Danau Toba, Medan, Padang, Pematang Siantar, Nepal (via handphone), foto bulan madu di Ubud, dan foto-foto berharga lainnya ikutan terbang bersama angin, selama Tuhan masih kasih saya ketajaman ingatan yang baik saya akan tetap happy. Ceileeeh sok tabah gitu. Makanya kalian beli nih Samsung Tab S saya biar bisa bayar handphone baru hihihi.
Nah, mari kita masuk ke cerita pendakian. Secara fisik, Gunung Gede berdiri kokoh setinggi 2.985mdpl dengan dua jalur pendakian terkenal yaitu via Gunung Putri dan via Cibodas. Kak Lembah dan El sepakat mengajak kami naik lewat jalur Gunung Putri karena lebih cepat meski konturnya sangat curam. Semacam mendaki punggungan gunung gitu lah. Target sampai ke titik kemping Surya Kencana adalah jam 15.00 alias menempuh 7 jam perjalanan.
Begini pemandangan sebelum masuk ke hutan. Meskipun indah dan jarak tempuhnya pendek, tapi yang namanya gunung kalo belom masuk hutan rasanya bikin kelojotan! Panas banget! Dari basecamp di Mandalawangi menuju titik start, kami nyarter angkot. Gak susah kok carinya karena angkot biru-biru itu berjejer di dekat pasar dan udah terbiasa dicarter para pendaki. Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menitan, lumayan bisa bobok bentar ngumpulin semangat.
Jalur Gunung Putri selain sangat curam, dia ini jalur bajingan hahahaha. Jalurnya memang gampang diikuti, masih ada sisa marka pendaki sebelumnya jadi lumayan ada yang bantu kalo kesasar. Tapiiii tanjakannya ya Alloooh ampun, menderita lah asli! Gak usah berharap banyak bonus alias jalan landai karena sia-sia. S.I.A.S.I.A. Beruntung yang ikut mendaki kali ini adalah teman semasa Palapsi dulu yang gak hanya secara fisik, tapi secara mental juga sangat matang kalo urusan pergunungan. Jadi sekali lagi saya merasa aman dan nyaman mendaki gunung meski tergopoh-gopoh terseok-seok termehek-mehek.
Pemandangan sepanjang pendakian adalah hutan lembap dengan cahaya langit mengintip di sela dedaunan. Paling bahagia adalah ketika dengar suara tonggeret pada ngobrol, burung-burung kecil, sama suara remah ranting pohon campur tanah dan batu terinjak sepatu gunung bersol tebal. Suaranya renyah gimana gitu. Suara suara petualangan.
Buat saya yang minim pengalaman mendaki, jalur Gunung Putri emang ampun-ampunan curamnya. Saya sampai bikin formula jalan 20 set langkah lalu istirahat 20 detik terus lanjut begitu lagi. Terus karena pikiran saya disibukkan dengan “nanti mau beli hp apa ya?”, jadi lumayan pendakian saya terasa sedikit lebih ringan hahaha. Special thanks buat Ghozi yang dibeberapa sesi setia bener nungguin plus nyemangatin saya untuk terus berjalan (dan terima kasih buat t-cash yang banyak itu, ya cah bagus!).
Selama pendakian kami istirahat (yang official istirahat ya) di dua pos. Disana kami makan snack, selonjorin kaki, sama ada juga yang merokok. Nah setiap istirahat, saya selalu selesai duluan dan lanjut jalan duluan. Selain karena istirahat kelamaan bikin badan dingin, saya suka ngantuk kalo duduk ditengah hutan adem begitu. Dan yakin deh mau saya jalan duluan satu jam juga mereka bisa nyusul saya dalam sekejap mata.
Hanya saya atau kamu juga, seneng lihat batang berdaun lembab seperti ini?
Saya dan Mas Gepeng sebenarnya lagi sama-sama jadi cajeput-man alias flu berat. Seminggu sebelum naik gunung, kami udah batuk-batuk kering, bersin-bersin, dan meriang. Bahkan hari Jumat saya gak masuk kantor gegara mau istirahat mempersiapkan tubuh (jelas ijin ke kantor gak saya bilang mau naik gunung hahaha). Lumayan juga istirahat seharian bikin meriang saya hilang dan lebih fresh buat mendaki yaaay. Terus gimana batuknya pas naik gunung? Masih batuk masih ingusan sih, dan kalo nafas lagi ngos-ngosan, pas batuk dadanya jadi tambah sakit. Biasanya kalo udah agak ekstrim batuknya, saya istirahat, atur nafas perlahan sampai normal lagi, lalu jalan tapi lebih pelan. Gak boleh lupa bawa cajeput oil (minyak kayu putih) untuk dioleskan pas mau tidur.
My favorite photo from today :))))
Ada banyak penjual gorengan di titik-titik istirahat. Mereka ini udah buka lapak dari hari Jumat dan akan turun hari Minggu atau Senin. Canggih sih bawaannya macam kompor, tabung gas, terpal, tiker, termos, macam-macam makanan, minuman, dan wadah pelastik. Yang dijual disini ada mie instan, aneka minuman hangat, gorengan -tapi gak usah ngarep gorengan a la abang pinggir jalan, gorengan disini adalah tepung ditempein, bukan tempe ditepungin. Jadi yaa begitu lah.
Kebanyakan makan gorengan tepung, batang pohon segede gitu masih bisa aja kesandung.
Sampai di Surya Kencana siang, kami keliling cari tempat kemping. Karena mau turun via jalur Cibodas, jadi cari tempatnya yang dekat sama jalan pulang nanti. Surya Kencana ini luaaaas banget. Spot kempingnya banyak dan pemandangannya ciamik, jadi gak bakalan khawatir kehabisan tempat kemping dengan panorama kece. Paling kalo mau agak picky, pilihnya yang diantara semak tinggi biar gak terlalu dingin.
Surya Kencana ini uwooooww luar biasa amazing! Luaaaass, indah dan sangat-sangat sejuk. Angin bebas menari kesana kemari, bodo amat yang pakai jaket murah apa mahal pokoknya siapa pun pasti dipeluk angin! Banyak edelweis muda, warnanya putih cerah cantik cantik! Langit bersih dari awan, gerombolan pohon lebat di kanan kiri, astaga tempat ini seperti mimpi!
Untuk teman-teman yang mau kemping di gunung, pastikan kamu bawa matras, ponco, dan sleeping bag berkualitas ya. Ponco (jas hujan yang bentuknya kelelawar) fungsinya selain digunakan pas hujan, tapi bisa jadi alas tidur paling bawah supaya gak tembus basah pas hujan dan gak terlalu dingin. Apalagi kalo datarannya banyak batu kecil, lumayan buat covering. Matras fungsinya juga sama. Selain untuk melapisi carrier supaya packing-annya rapih, matras juga bisa bikin tidurmu lebih nyenyak bebas dingin bebas rembes. Sleeping bag wajib sih ini, saya aja kemarin sampai pakai 2 hahaha -sebenarnya 1 aja cukup tapi saya males tidur pake jaket. Begitulah hal-hal yang diajari Kak Lembah sejak dahulu kala.
Kami malam itu masak (sungguh sungguh masak) nasi, dengan lauknya sosis goreng dan sup jagung. Makanan mewah bener. Gak lupa kami juga masak air buat seduh kopi dan susu. Kak Lembah sebagai project officer berbulu nanyain ke tim, besok pagi mau liat sunrise apa gak. Kalo mau bangunnya jam 2. Nah berhubung tawaran liat sunrise gak lebih nikmat dari bangun sebangunnya, yakin semua orang lebih milih tidur nyenyak lebih lama.
Pas masak makan malam, hujan turun rintik-rintik. Meskipun cuma rintik-rintik, dinginnya menusuk tulang dan anginnya semacam siluman salju. Pas tidur sih saya sok sok gak jaketan gak kaus kaki juga karena terasa agak sumuk didalam tenda yang isinya ngepas 4 orang. Tapi tengah malem, dimana dinginnya udah lewat dari siluman, saya terbangun dengan gigi bergemeretak. Dingin parah! Parah! Akhirnya saya ambil sleeping bag satu lagi dan voila, jadilah ulat bulu.
Kami bangun sekitar pukul 6 pagi, menyongsong hangat matahari, lalu mulai masak sarapan. Pagi ini para cowok yang masak karena cewek-cewek kan rempong ya urusan ganti dan packing, jadi saya dan Mbak Liya bebas tugas masak dan beberes sekalian ngobrol. Mbak Liya adalah senior saya dan Mas Gepeng, meskipun keliatannya kecil enerjik gitu. Dari dulu udah jadi anak gunung dan kayaknya ada sistem rahasia dikakinya yang bikin dia kalo jalan cepet bener padahal jalanannya curam. Kan nyebelin ya hahaha.
Selamat paaaagi dari #justinindyo yang pertama kali tidur diatas gunung. Misinya sih mau bobok pelukan lucu gitu tapi dipeluk sleeping bag ternyata lebih manusiawi haha.
Sarapan mie instan, bawa bekal roti sama smoked beef. Bahagia ya.
Sebelum meninggalkan tempat kemping lapangan bola ini, kami foto-foto dulu simply because take nothing but pictures. Saya harap gak ada yang cabut-cabut bunga edelweis disini dan ingat untuk bawa turun kembali sampah yang hasil kempingnya.
Saya sueneeeng banget bisa naik gunung sama Mas Gepeng. Pengalaman baru, selain turun sungai (arung jeram) bareng. Dia sih katanya terakhir ini aja naik gunung. Tapi kalo diinget-inget, Mas Gepeng punya mimpi ajak sana ke Gunung Kinabalu. Jadi gak nih?
Free as a bird.
Selesai sarapan, bersih-bersih, dan beres-beres. Kami lanjut jalan ke puncak. Jarak puncak dari Surya Kencana hanya 200an meter tapi tanjakan curam tetaplah tanjakan curam. Berhubung semua udah pada curi start jalan duluan disaat saya masih foto-foto, alhasil saya dan Ghozi sampai paling belakangan. Menurut nganaaa siput keroja ditaroh paling belakang bakalan bisa nyalip. Tapi pas lagi jalan ke puncak, banyak banget orang baik yang nyemangatin saya lho. Awalnya sih cuma Ghozi aja yang terus terusan mendorong dengan banyak analisa maut. Terus pas Ghozi nanyain masih seberapa jauh jalan ke puncak ke orang-orang yang turun, semua bilang dikit lagi dikit lagi bentar lagi. Ada juga yang menggunakan satuan waktu seperti gak sampe setengah jam, gak sampe 15 menit. Dusta! Tapi menyenangkan juga dengernya. Apalagi pas ada mbak gendut kakinya dibalut kain, turun perlahan dari tanjakan berbantu dengan dibantu tongkat, dia berkata “semangat Mbak, masa kalah sama saya”. Even saya naik gunung gak ada minat kompetisi sama siapa pun termasuk yang sakit-sakit segala, tapi niatnya memberi semangat perlu diapresiasi.
Dan sampailah saya di puncak Gunung Gede yaaaaay woo hoooo yaaayy!!! Saya berada 2.985m jauh diatas permukaan laut loh! Luar biasa Justin Larissa! Hebat hebat! 😀
Kaki dan nafas memang tersenggal-senggal. Rasanya pelumas dengkul saya habis, udah sampai karatan malah. Tapi selepas istirahat 5 menit, lelah digantikan rasa bangga sekaligus takjub melihat puncak Gunung Gede berbentuk kawahan. Mungkin begini rupa asli gambar gunung masa kecil yang puncaknya dibuat bentuk U. Disekeliling dibuat pagar kabel dengan jarak sekitar 50cm dari bibir kawah. Wejangannya untuk para pendaki agar berhati-hati dan tetap berada dijalur aman. Saya berjalan mengitari kawah mencari Kak Lembah (karena mau minta difotoin hahaha) tapi lebih dari itu, saya mengagumi apa yang saya lihat diatas sini.
Jika saya bisa mendeskripsikan bagaimana rasanya berada di puncak gunung, satu kata: magical. Semua seperti sihir. Berjalan perlahan, dihidupi suara serangga dan desir daun, menikmati setiap oksigen, setiap teguk air, rasa lelah, tapi lebih semangat terus naik daripada menyerah turun, apa ya, semua terasa begitu baik-baik saja diatas sini (lain cerita kalo hujan haha).
Dan terima kasih alam semesta karena bisa ada disini sama Mas Gepeng. My one and only love.
Melihat ada ‘ruang’ yang agak sepi, kami berdelapan berkumpul dan foto-foto. Bersyukur banget hujan gak turun siang ini. Langit cerah. Awan bolak balik buka tutup panorama Gunung Pangrango si tetangga abadi. All is well right here. Lalu kami cari spot oke juga buat wefie sambil selebrasi dengan minuman puncak alias mincak!
Selebrasi mincak adalah besutan salah seorang klan Dumatubun yang masuk Palapsi, namanya Nonod. Saat itu tahun 2008 dan entah kenapa masih bertahan sampai sekarang. Yaa seru juga sih. Harapannya yang jadi mincak adalah minuman soda supaya bisa dikocok-kocok terus dimuncratin, mirip buka champagne diluar negeri. Tapi bagi yang gak minum soda, bisa bawa minuman lain seperti susu Milo atau milktea just like I did every hiking. Oh ngeh gak kalo pas Papandayan kemarin juga ada yang bawa mincak? Sayang bener pas itu antara busa soda dan timer kamera lagi gak akur jadi gagal deh selebrasinya.
Kak Duta kakak favorit cewek-cewek.
Puas menghabiskan waktu dan puluhan jepret foto, kami lanjutkan perjalanan turun lewat jalur Cibodas. Menurut El dan Kak Lembah, jalur Cibodas itu lebih landai dari Gunung Putri tapi lebih jauh. Karena kalo turun gunung bisa sambil lari mungkin akan lebih cepet meski jaraknya jauh. Sebelum sampe ke punggungan, jalan menurun dari puncak lebih friendly dan bisa diturunin dengan berlari -asal hati-hati tapi ya!
Sepanjang jalan turun memang gak terlalu curam seperti kemarin tapi menurut saya gak landai amat juga. Ada tebingan yang harus dituruni dengan cara repelling dengan lintasan tali, ada juga yang gak bisa diturunin sambil lari. Saya lumayan bisa lari, seneng juga bisa balapan sama Mas Gepeng, Mbak Liya, dan Mas Rafli. Tapi ditengah jalan kok kaki saya mulai lesu ya. Energinya habis gitu. Jadi saya mulai memelankan langkah dan berusaha mengatur fokus. Mungkin jarak yang jauh bikin energi cepat habis.
Di perjalanan kami sempat istirahat berendam air hangat lho. Ternyata sumber air hangat Cipanas datang dari Gunung Gede. Ada titik pertemuan air dingin dan air panas yang bikin kubangan serta air tejun hangat untuk berendam. Mas Rafli menemukan spot ditikungan yang sepi dari pendaki lain. Tempatnya persis private pool gitu, tersembunyi dan ada kubangan besar untuk mandi. Mayaaan bikin kaki lebih segar dikit. Kayaknya Mas Rafli bisa bikin buku deh judulnya “The Secret of Every Mountain in Indonesia”, isinya hal-hal ajaib dan rahasia dari gunung-gunung yang udah dia daki. Soalnya sepanjang pendakian, Mas Rafli suka cerita banyak hal yang kita gak tau. Semacam RPGL (Rangkuman Pengetahuan Gunung Lengkap).
Pas istirahat di pos setelah Kandang Badak (gak ada badaknya kok), nafas saya tersenggal-senggal. Setelah puluhan menit berjalan lagi, saya mulai merasa harus segera ganti sandal. Basically saya ini gak nyaman naik gunung pakai sepatu. Dari dulu selalu pakai sendal gunung. Tapi mengingat naik gunung sekarang lumayan jarang plus temen saya bilang nyaman banget pakai sepatu, jadilah saya pakai sepatu. Sekarang saya give up. Take me back to my sandal please.
Disaat yang lain lebih memilih duduk santai istirahat, Ghozi pergi melihat air terjun. Dia sendiri gak ada yang mau menemani. Yakali masa jalannya 300 meter kebawah bolak balik 600 meter dong. Thank you very much. Tapi air terjunnya cakeuuup yaaaa. Gak papa gak liat langsung, liat fotonya aja udah seneng.
Perjalanan turun terasa jauuuuh lebih nyaman. Kaki terasa lebih luwes dan adem. Enak banget emang pakai sendal, tau gini dari awal pakai sendal aja. Meskipun begitu, tenaga saya memang udah menipis. Langkah kaki saya stabil tapi memang lebih perlahan. Begitu pun Mas Gepeng. Kita ini memang harus banyak minum susu ya sepertinya. Akhirnya #justinindyo ada diurutan paling belakang ditemenin dua sejoli Mas Rafli dan Mbak Liya. Kami jalan pelaaan banget. Saya yakin itu dua sejoli udah gatel pingin lari tapi kalo mereka ninggalin kami, terus kami kenapa-kenapa, gak ada yang rescue. Karena beneran kejadian, Mas Gepeng beberapa kali jatuh karena dengkulnya udah kopong (apa itu dengkul kopong?). Jalan beberapa langkah, terus jatuh. Pas udah kelihatan K.O., Mas Rafli bantu bawain carrier Mas Gepeng sampai ke pondokan. Hujan turun deras sekali. Kami istirahat. Pakai jas hujan. Dan oles oles dengkul pake hot and cream (krim ajaib, tokcer gila ngilangin pegal! Recommended!).
Kami lanjut jalan, saya mendahului di depan dan Mas Gepeng jalan dibelakang sama Mbak Liya. Mas Rafli, dengan membawa dua tas dipunggungnya jalan duluan cepat sekali dengan meninggalkan pesan “aku duluan ya nanti kalo udah taroh tas aku balik lagi”. Ha? Eh? Serius? Heroik amat. Oke lah hati-hati ya. Saya jalan duluan sambil bersenandung. Dengkul saya memang udah gak ngilu tapi tenaganya juga gak balik. Saya pilih duluan juga biar Mbak Liya gak harus rempes back upin sepasang jompo-muda ini hahahaha. Selang puluhan menit berlalu, Kak Lembah dan Kak Duta dateng samperin kami. Mereka pake roket kayaknya bisa kebut secepat itu. Mereka rescue Mas Gepeng dan saya lanjut jalan kaki berdua sama Mbak Liya sambil ngobrol.
Agak drama sih, tapi bersyukur kami semua sampai basecamp dengan selamat dan saya bisa ngece Mas Gepeng hahaha. Kami bersih-bersih, minum teh, beres-beres perlengkapan, lalu pergi makan sate dan tongseng di Pusat Sate Kiloan, Puncak Bogor. Gak ada yang lebih juara dari melepas lelah sambil makan tongseng kambing hahaha enaaakk. Untuk informasi, semua foto diambil pake 4 kamera (dokumentasi super boros ini namanya) yaitu Fujifilm XT10 (lensa kit, auto), Samsung NX3000 (lensa kit, manual setup), GoPro Hero 4, dan Panasonic Lumix. Fotografernya juga ada 4 yaitu Kak Lembah, saya, Ghozi, dan Mas Gepeng. Kenapa pakai banyak kamera? Supaya semua orang ada fotonya jadi santai, dokumentasi per orang amaaan. Fyuh, panjang sekali ya ceritanya. Terima kasih bagi yang udah baca sampai selesai. Sampai jumpa di kemping selanjutnya tahun depan!