Siang Penuh Keringat dan Air Mata di Seoul

“Doain ya Oyong, sering-sering chat ya,” ucap saya ke Mas Gepeng. Kami masih berpelukan di gerbang terakhir keberangkatan, dia mencium kening saya, tapi pikiran saya sungguh campur aduk. Pergi sendiri ke Seoul itu seru, tapi di saat yang sama terasa menakutkan. Gimana ini? Dulu terbang sendiri Jakarta – Kuala Lumpur terus di sana ada yang jemput saja rasanya sudah lemas betul. Ini mau ke negara baru, gak kenal siapa-siapa, gak ada Mas Gepeng, gak ada yang jemput, apalagi saya gak banyak riset karena sebelum pergi, pekerjaan menumpuk sekali bikin gak sempat bikin itinerary komplet. Duh.

Akhirnya saya terbang sendiri. Beruntung saya naik GIA, jadi terbangnya langsung cus sampai Incheon. Cuman sedihnya tuh saya duduk sendiri, sebelah saya gak ada orang dan gak ada yang pindah-pindah juga. Sebenarnya saya suka duduk sendiri sederetan gitu kan mayan bisa selonjoran, tapi karena mental ini lagi solo traveling, rasanya akan lebih senang kalau ada teman ngobrol. Bisa sih ngobrol sama pramugari tapi ya masa dia duduk sama ogut sepanjang perjalanan. Mungkin ini persiapan untuk feel alone before beneran alone di Seoul wakakaka.

Setibanya di Bandar Udara International Incheon, saya excited tapi tetap berusaha tenang. Kalau lagi excited tuh kadang otak ini gak bisa mikir, hanya ingin senang-senang saja terus lupa banyak hal. Saya berjalan lebih pelan dan melihat sekeliling. Saya mencari di mana lokasi toilet, di mana lokasi information center, tempat pemesanan tiket bus ke kota, ATM, tempat tukar uang, tempat beli jajan, dan sebagainya. Bandara ini ukurannya medium, mirip kayak Bandara Halim PK cuman lebih kinclong, terawat, dan adem. Keramaiannya juga biasa saja, mayanlah gak merasa terintimidasi.

Saya jalan menuju information center dan bertanya gimana caranya menuju Seoul. Saya juga menyebutkan kalau saya akan menuju kawasan Hongdae dan menginap di hostel dekat situ. Si mbak petugas menjelaskan pelan-pelan, memberi tanda stasiun tujuan di peta gratisan, kasih tahu kode jalurnya, dan menunjuk tempat pemesanan tiket. Setelah mengulang kembali informasi yang dia berikan, saya langsung ke tempat pembelian tiket.

Sebelum coba mesin tiket, saya lihat orang lain dulu. Takut banget salah terus rugi bandar kan kayak pas di York waktu itu wakakak. Pas saya akhirnya di depan mesin tiket, wih ternyata gampang bener prosedurnya pemirsa. Menu tersedia dengan bahasa lokal dan Bahasa Inggris, terus menunya simpel dan urutannya enak. Pilihan stasiunnya pun jelas. Semoga dengan kemudahan ini, saya bisa aman gak salah pilih ya. “Cikikit… srut!” keluarlah tiket kereta saya. Sebenarnya bukan tiket sih, dia kartu uang elektronik gitu. Bisa diisi ulang dan digunakan naik kereta sepanjang hari.

Setibanya di stasiun tujuan di kawasan Hongdae, saya mulai merasa ada yang gak beres. Apalagi pas saya keluar dengan eskalator yang langsung menuju outdoor. Rasanya kok tahu-tahu saya masuk ke sauna? Ini ada apa kok panas banget?

Mas Gepeng memang bilang musim panas di Seoul itu sama kayak Jakarta, tapi gak sangka kalau memang beneran sama. Bahkan sama kayak Surabaya. Panas, kering, celekit-celekit, gak ada angin. Wah pantas saja orang Korea tergila-gila dengan aloe vera gel.

Saat masih kaget dengan panasnya Seoul, hape saya bunyi. Bos telepon, hahaha. “Udah sampe lo?” katanya. Baik memang dia ini. Dia tetap kasih saya pergi padahal saya anak baru, belum ada sebulan malah. Siang itu dia update beberapa kerjaan sama hahahihi iseng. Lumayan lah gak berasa alone. Selepas bos telepon, teman saya telepon juga nanya kerjaan. “Hah lo kok di Korea? Ngapain? Terus kenapa masih angkat telepon gue?” katanya heran. Ogut juga heran.

Setelah menutup telepon, saya mulai lihat sekitar. Saya ada di interseksi 4 jalur dan ada dua jalur yang membingungkan. Keduanya menuju arah peta hostel yang saya tuju. Tapi saya gak yakin mana yang benar. Saya baca lagi instruksi orang hostel yang dikirim sebelumnya via email. Dari pintu stasiun, keluar, terus lurus terus sampai ketemu pertigaan besar. Saya balik ke pintu keluar stasiun, terus ikuti lurus. Lho kok malah ketemu kolong jembatan?

Saya balik lagi ke pintu keluar. Coba jalan yang sebelah, jalan yang lebih ‘jalan’ dan dia menanjak ke atas. “Duh kalau sudah nanjak gini tapi salah, kayaknya salah deh?” saya bergumam. Lalu saya putar balik kembali ke interseksi pertama. Saya mutar-mutar lama di situ.

Selama tiga puluh menit, saya masih belum tahu ke mana harus pergi. Badan mulai gemetaran kepanasan. Bulir-bulir keringat sudah banjir di punggung dan dada. Kepala juga sudah mulai gatal. Saya akhirnya jalan lurus menuju terowongan. Di sana lebih adem dan sejuk, ada blok blok untuk duduk juga. Saya berpikir untuk tidur siang di sana sekalian istirahat.

Mata saya getir dan pedas. Air mata mulai netes dan pipi sudah memanas merah. Kenapa susah bener sih nemu hostel. Google Maps juga kenapa eror, instruksi kenapa jadi susah juga. Mau nanya siapa juga gak ada orang di sekitar. Mau nanya bingung pakai bahasa apa. Terus kalau gak ketemu hostelnya gimana? Tidur di kolong nanti ada yang marahin gak? Duh ya Allah tolong aku.

Saya duduk di balok sambil bersandar di pinggiran tembok. Panas banget ini dunia kayak neraka. Saya nangis deras tapi malu-malu. Wajah saya tutup tisu terus slorotin ingus sambil sembunyi-sembunyi. Asli deh. Kenapa sedih banget ya. Saya berusaha menenangkan diri. Inhale. Exhale. Inhale. Exhale. Saat sudah tenang, saya bengong sambil lihatin instruksi dari si hostel. Tetap bingung.

Saat mata saya ngabur memperhatikan sekitar, tahu-tahu berpapasan dengan sepasang muda-mudi. Kayaknya mereka memperhatikan saya mewek tadi. Melihat gelagat mereka kayaknya mau bantu, saya sekalian saja minta bantuan. “Kamu tahu gak ini di mana?” tanya saya. Mereka berdua adalah sepasang Cina, yang mana si cowok lagi kuliah di Seoul sementara si cewek ini lagi mengunjungi. Mereka pejuang LDR. Semangat ya.

Dengan Bahasa Inggris terbata, mereka mengajak saya untuk ikut. Si cowok sepertinya memahami kawasan Hongdae, jadi dia pede tuh ngarahin saya. Jadi ternyata pemirsa, jalannya benar ikutin yang jalan nanjak tadi hahaha. Jalan ituuu teruuus naik ke atas sana. Gak curam, tapi mayan sih panas-panas nanjak kan apalagi capek habis mewek. Setelah sekitar 5 menit jalan, ketemu interseksi besar. Kami belok kanan. Beberapa ratus langkah berikutnya ada gang mungil di kanan jalan, nah di situ lah hostel yang saya cari-cari dari tadi. Kenapa ternyata gampang banget sih 🥲

Saya mengucapkan terima kasih banyak sekali ke pasangan gemes itu. Apalah arti saya di Seoul tanpa mereka. Setelah masuk dengan kode sesuai tertulis di email, saya ketemu dengan pemilik/pengurus hostel. “Hai, apa kabar?” tanyanya, “Kamu yang dari Indonesia ya?” Saya menjawab seadanya. Dia kayaknya ngeh kalau saya lagi gak bisa bicara banyak. Setelah sedikit menjelaskan tentang hostel, saya masuk kamar. Gak pakai lama saya langsung nyalain AC, membenamkan diri di kasur, lalu nangis sekencang-kencangnya.