Nyobain Berbagai Warung Mi Ayam Donoloyo untuk Mencari Mana yang Paling Enak

Apakah kamu pernah dengar sebuah kalimat, bahwa orang Wonogiri terlahir dengan kemampuan bikin mi ayam paling enak di dunia ini? Belum? Oke kamu sudah dengar sekarang. Orang Wonogiri, khususnya titisan Hutan Jati Donoloyo, bermigrasi ke kawasan Jakarta Selatan dan Depok bukan hanya untuk mengadu nasib, tapi juga membawa misi melestarikan aliran mi ayam dengan cita rasa aliran Wonogirian. Bahkan mereka punya grup sendiri dong. “Kalau yang Donoloyo Group (DG), ada stiker di gerobaknya,” kata Mas anak pemilik Donoloyo Group—entah kenapa kami lupa nanya namanya, “Lebih enak masuk grup, lebih mudah nanti jualannya.”

Kami ketemu si Mas anak pemilik Donoloyo Group di warung cabang Pinang Raya. Lokasinya lumayan strategis dan ada tempat duduk outdoor, sangat dibutuhkan di masa social distancing seperti sekarang. Selain di sini, kami juga datang ke warung DG di Gandul dan Beji, Depok. Mi ayam versi DG menggunakan adonan mi yang dikirim seragam dari pabrik di Kramat Jati. Yang bikin cabang DG satu dengan lainnya berbeda adalah racikan bumbu dan sambal. Misal di Mi Ayam Agung (Cinere Raya), sambalnya merah gelap dan rasanya pedas pahit ada aroma smoky-nya gitu, cocok sama racikan bumbunya yang gurih. Kalau yang di Beji, yah agak kacrut nih sambalnya dikasih banyak air, meski tetap pedas cuman gak blend-in sama bumbunya yang kebanyakan vetsin.

Saya diinfo sama Pak Agung kalau mi ayam Donoloyo ini mengantungi hak kekayaan intelektual, “Orang gak bisa sembarang jualan pakai nama Donoloyo lagi.” Kalau ini benar, saya gak setuju sih. Ini kan mi ayam yang dicintai karena kesederhanaannya, kenapa dibuat eksklusif? Gimana nasib warung seperti punya Pakde Rasiman, yang menjual mi Donoloyo tanpa ada embel-embel grup? Sudah gitu, mi punya Pakde rasanya paling beda sama kebanyakan Donoloyo. Ini satu-satunya mi dengan cita rasanya kampung—ya kan ada nasi goreng kampung, mi ayam juga dong.

“Gak ada Mbak grup-grup gitu, itu sudah zaman dulu mbah-mbah saya, kalau sekarang ya jualan saja sendiri-sendiri,” kata Pakde Rasiman pas saya tanya doi tahu gak soal Donoloyo Group. Kalau DG selalu kirim mi dari pabrik ke semua cabangnya, nah mi punya Pakde dibuat sendiri oleh istri dan anaknya di rumah, termasuk ayam dan sambalnya. Gak heran mi Pakde bentuknya lebih pipih, beda sama mi pabrik yang bulat dan padat. Sudah gitu, mi Donoloyo umumnya pakai minyak sayur atau minyak bawang bening, Pakde pakai yang kuning. Nah ini nih yang bikin rasanya kampung banget. Minyaknya kayak ada rasa asam-asam ayam sedikit. Dan cuman mi Pakde yang pakai lada putih sebagai tambahan bumbu dasar. Makan mi punya Pakde mengingatkan saya sama mi ayam pertama yang saya makan dulu pas masih SD lah. Klasik bet.

Selain Pakde Rasiman, ada lagi Pakde Tiyo yang jualan di dua tempat: Gandul dan Pondok Labu. Jadi doi pindah-pindah gitu. Nah Pakde Tiyo ini gak masuk DG tapi dia langganan mi-nya. “Tiap pagi dikirim, Mbak,” katanya. Kebanyakan warung DG itu masak mi sampai teksturnya a little chubby and mushy. Kalau di tangan Pakde Tiyo, teksturnya berbeza. Dia masak setengah matang, jadi lebih crunchy. Selain mi, semua dia buat sendiri mulai dari ayam, sambal, dan racikan bumbu. Sambal buatan Pakde adalah sambal minim seasoning yang digoreng sampai garing lalu disiram minyak panas. Kalau digado, rasanya pahit. Tapi kalau jadi pelengkap mi ayam, rasanya cucok! Tambah lagi, Pakde Tiyo paling murah hati kalau kasih ayam!

Mi buatan dua pakde ini termasuk yang nyantol di hati saya. Rasanya gak adil kalau mereka harus ribut urusan HaKI Donoloyo, apalagi kalau nanti pakai ada ‘Surat Keberatan’ review-review kan. Lagian mereka Wonogirian yang punya cita rasa masing-masing. Eh tapi ada yang lebih seru, ternyata grup Donoloyo gak cuman itu doang pemirsa, ada lagi yang lain. Memang gak di-branding apa-apa, tapi ada grupnya. Yah orang penduduk Wonogiri saja lebih dari sejuta, masa iya grup Donoloyo-nya cuman satu. Saya sendiri yakin grupnya masih ada beberapa. Mungkin yang itu namanya DG, yang ini Donoloyo Brothers, terus ada lagi Donoloyo Asoy, dan sebagainya

Salah satu warung Donoloyo Brothers (sebut gitu saja ya) yang kami coba adalah di daerah Mampang, Depok. Nah di warung ini, pemiliknya orang Wonogiri tapi yang masak malah mas-mas asli Bogor. Gimana cita rasa Jawa Tengah diracik di tangan para aa’ Sunda? Mi Donoloyo racikan orang Bogor ternyata lebih gurih. Mereka begitu bebas ngasih kecap asin, minyak bawang, dan mecin yang cukup banyak agar bisa membalut semua bagian mi. Jadi kayak rasa mi Jakarta gitu. Oh tenang, mi ayamnya gak dikasih lalapan kok wkwk. Terus tekstur mi-nya lebih padat meski dimasak setengah matang. Mirip tekstur mi beras dari Cina atau mi jjangmyeong.

Mi ayam Donoloyo biasa disajikan dengan kondimen semur ayam, pangsit basah, dan daun bawang. Ada juga yang pakai bawang goreng tapi jarang. Nah pangsit basah ini juga bisa beda-beda antar internal grup dan antar per-Donoloyo-an. Kalau di DG, biasanya kulit pangsit tebal dan isiannya dikit. Saya agak lupa mana yang paling dikit, tapi saya ingat pangsit paling yahud adalah punya Pakde Rasiman karena kulitnya lembut dan dia juga sajikan kerupuk pangsit. Top, Pakde!

Terus karena saya selalu pesan mi tanpa ayam, saya selalu dapat lebihan pangsit. Semua penjaja mi melakukan hal itu, padahal ya ogut kan cuman bisa makan kulit pangsitnya saja wkwk. Terus kalau gak pakai ayam, kadang harganya bisa tetap Rp12ribu, ada juga yang diskon jadi Rp10ribu. Belum pernah coba beli gak pakai mi, mungkin cuman bayar 500 perak kali.

Selain pangsit, penjaja mi ayam Donoloyo biasanya menyediakan satu ceret besar isi teh tawar panas (atau adem) dan disajikan gratis pakai gelas belimbing. Kita bisa tuang sendiri bahkan refill beberapa kali juga boleh. Ini salah satu ciri khas penjaja mi ayam Donoloyo yang begitu saya segani. Ada beberapa penjaja yang punya modal lebih dia langganan chiller atau kerja sama dengan warung untuk menyediakan aneka minuman, tapi yang dengan ceret tetap favorit saya. Lebih kampungan dan rumahan gitu. Memang di masa kayak gini, apalagi kita tahu warung gerobak pinggir jalan cuci piringnya pakai air yang sama berkali-kali, bikin gak bebas kalau mau minum. Paling benar bawa minum sendiri atau bawa gelas/botol sendiri terus minta isi teh ceret.

Jadi, mana yang paling enak dari semua mi Donoloyo yang sudah saya coba? Hmmm, susah ini. Buat saya, mi Donoloyo paling enak adalah ketika makan entah di yang di grup maupun warung independen, saya dapat mi setengah matang, tanpa ayam, sawi dimasak lembut, daun bawang melimpah, minyak bawangnya banyak, dan habis makan, minum teh tawar panas dari ceret. Kayak mi buatan Pakde Tiyo sama si aa’ Sunda.