Pada suatu siang seorang mahasiswi berbadan ginuk-ginuk naik motor bersama teman-temannya menuju belakang fakultas teknik UNY. Meski kuliahnya di kampus sebelah, dia tidak pernah absen barang dua bulan sekali untuk makan siang di tempat makan idola mahasiswa yang lokasinya di atas selokan itu. “Mas, mau nasi pakai ayam paha, terong goreng, telur dadar, cabenya lima aja ya!”, teriak si mahasiswi memesan paket favoritnya, tidak lupa dengan es teh manis yang suka dikurang-kurangi esnya. Begitu lah saya. Dulu ginuk-ginuk sekarang agak kopong ya termakan usia.
Kenapa ya Mas Kobis tetap menjadi idola?
Masih misterius kenapa namanya Mas Kobis. Pertanyaan tentang “memang ada orang namanya Kobis?” pun selalu berakhir fana. Tempatnya dulu hanya satu di pojokan UNY situ, tapi sekarang sudah jadi franchise sehingga pelanggan harus pintar-pintar mencari mana yang paling otentik atau setidaknya masih pas dengan cita rasa yang dulu-dulu.
Beberapa cabang saya coba, ragam sambalnya jadi punya banyak cita rasa. Bukan soal sambal yang ditambahi tempe atau teri atau terasi atau mercon, melainkan sambal yang diulek dengan orang berbeda-beda dengan nuansa dan aroma yang berbeda-beda juga. Karena sesungguhnya gaes, sambal mentah plus keringat si mas-mas penguleg (atau mungkin sama jigongnya juga) itu tidak ada duanya. Pernah ada di satu cabang di Kaliurang, sambalnya lumayan enak sih, tapi terlalu bersih buat saya. Pun gorengannya terlalu bersih. Untuk sambal dan kudapan Mas Kobis saya sepakat dengan kata-kata iklan ‘berani kotor itu baik’. Tapi catatan ya, saya tidak pernah keracunan makanan Mas Kobis lho, paling banter ya mules dan diare sehari saja.
Pun beberapa cabang lain yang rasa lauk pauk dan sambalnya tidak memuaskan rasa rindu saya sebagai pelanggan setia. Kalimat-kalimat ‘Duh kok sambalnya tidak gurih” atau “Duk kok ayamnya bersih banget (wkwk)’ atau “Duh iki mas-mase kok wagu” sering kali jadi review a la kadar dan tidak layak posting di media sosial. Suatu kali saat sedang menikmati makanan Mas Kobis yang konon adalah the origin, saya teringat kata-kata teman kuliah dulu yang bilang kalau di Mas Kobis ini, makanannya dicipratin kencing tuyul, makanya enak. Bahkan katanya ya tuyulnya tiap hari mangkal disitu, supaya laris manis.
Lha kalau jadi franchise begini, tuyulnya bagaimana? Kage bunshin kah?
Mungkin itu lah penyebab tidak semua cabang Mas Kobis itu menggunggah sanubari karena tuyul pembawa rejeki itu hanya ada satu dan sudah kontrak seumur hidup dengan Mas Kobis The Origin. Mungkin juga tuyul dengan mas-mas penguleg Mas Kobis The Origin sudah bersahabat dekat seperti saudara beda alam sehingga mereka tidak terpisahkan jarak dan waktu. Tapi menurut saya, bukan masalah tuyul yang ternyata membuat saya suka jajan di Mas Kobis always and forever.
Karena menurut saya, tempat ini sudah seperti teman lama. Teman tuyul. Hahaha. Bukan bukan. Jadi saat kamu datang, duduk, lalu datanglah sosok lelaki dekil atau mbak-mbak semok beralis tebal bertanya santai, “Mangan opo Mbak?”. Lalu kadang ada tambahan perhatian lain seperti “Tenan iki cabene sak mono?” atau “Wis iki wae? Telur ora?” atau “Minume opo Mbak?”. Saya merasa sangat diperhatikan. Sangatlah berharga~
Buat yang sudah sehari-hari makan, mas-mas Mas Kobis pun nanti hafal lalu bisa ngeh sama perubahan yang tidak seperti biasanya. Misal dulu cabainya cukup 2, kini sudah pesan cabai 20, mas-masnya akan sadar dan “Wah wangun ik!” terucap sebagai bentuk apresiasi. Saya tiap hari makan soto mie tahu-tahu minta risolnya dipisah saja tidak diucapkan apa-apa.
Selain mas-masnya, yang membuat Mas Kobis selalu dihati adalah rasanya yang konsisten. Memang rasa khasnya sedikit berbeda dibandingkan dengan saat berlokasi di pojokan selokan, mungkin tuyulnya memang aslinya tinggal disitu, tapi rasa yang di tempat baru (yang The Origin lho ya) selalu konsisten, selalu begitu, enak, gurih, sedap, lezat, menggelora pokoknya! Sambal sederhana dari cabai gendut oren-oren, bawang putih, garam, micin, lalu di penyet ayam goreng, telur dadar, terung goreng, kol goreng, tahu, ceker, petai, lalu disajikan diatas nasi dingin. Wah mevvah gaes!
Dan sekali lagi menurut saya, makan penyetan Mas Kobis memang lebih enak dimakan di tempat. Entah kenapa setiap saya bawa pulang, selalu tidak habis dan perut jadi tidak enak. Jadi sepertinya benar, memang harus di tempat yang dekat dengan tuyulnya.
6 Comments. Leave new
Pengen pulang ke jogja 😭😭😭😭😭 maem mas kobis
Iya aku juga pengeenn 😭😭
Hahahahah baca ini jd setengah ragu krn denger tuyulnya :p. Kalo dibawa pulang jd ga enak, bener kayaknya mba :p.
kangeeen mas kobis. tiap ke jogja harus banget makan di sini. dan beneran tin, waktu itu aku pesen gofood tp jadi ga enaaa 🙁
Makanya harus makan disana, fresh from ulekkan wkwk
Asli. Emang harus makan disana Mir, terlalu beresiko kalau dibungkus wkwk