

Apa yang membuatmu suka naik gunung? Pemandangan yang maha indah? Menaklukan kelemahan diri sendiri? Suka dingin? Atau menikmati proses khidmat mendaki lalu turun gunung seperti yang selalu saya incar? Mendaki gunung sudah jadi aktivitas trendi banget belakangan ini. Sekedar melihat foto gunung yang ciamik di soc-med, langsung berangan untuk bisa berdiri langsung disana. Jarody Hestu Nugroho adalah salah satu yang beruntung bisa ‘berkantor’ diatas gunung.
Foto: Semua milik Jarody Hestu Nugroho
“MBAH! KOK PAKEK SARUUNG?”, teriak saya spontan saat bertemu Mbah Jarod di lantai teratas Pasar Santa. “Ini namanya saruna, sarung celana hahaha, istriku yang ‘mbeliin katanya enak ya tak pake aja”, jawabnya sambil tertawa pelan. Mbah yang dulu pas kuliah rambutnya panjang sepinggang lurus mirip hantu, sekarang potongannya pendek khas laki-laki pada umumnya. Saya rasa itu lebih baik, karena bentuk wajah lonjong agak kurang pas kalo rambutnya gondrong. Sambil basa basi, kami jalan menuju tempat makan clay-pot yang buka di hari libur Pilkada Jakarta. Jam-jam selanjutnya kami banyak berbincang tentang karir mountain guide Mbah Jarod secara khusus dan di Indonesia secara umum.
Equator Indonesia (adventure provider di Yogyakarta, kantor kedua Mbah Jarod selain di gunung) menyelenggarakan pelatihan untuk pemandu gunung akhir tahun lalu. “Ini untuk regenerasi”, kata Mbah. Nantinya para pemandu baru ini akan mengikuti sertifikasi pengakuan kompetensi oleh LSP (Lembaga Sertifikasi Profesi) bekerjasama dengan BNSP dan Asosiasi Pemandu Gunung Indonesia (APGI). BNSP sendiri menaungi sekitar 150 LSP dari perhotelan, tukang las, sekuriti, KFC, perbankan, juga wisata. “Kalo wisata nama LSP-nya tu Pramindo (Pramuwisata Indonesia). Kompetensinya merujuk ke SKKNI (Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia) ada semua tuh dari Pemandu Wisata Gunung, Gua, Arung Jeram ada semua”, terang si Mbah.
Profesi pemandu gunung sebelum 2016 bisa dikatakan belum legal. Profesi ini dilakukan murni dari pengalaman dan di Indonesia belum ada asosiasi atau ketentuan yang menstandarisasi sertifikasi profesi ini. Kalo di Amerika ada The American Mountain Guides Association (AMGA) yang menyelenggarakan pelatihan, sertifikasi, dan akreditasi untuk profesi pemandu bekerja sama dengan The International Federation of Mountain Guides Association (IFMGA) dan The International Mountaineering and Climbing Federation (UIAA). Ada lagi Association of Canadian Mountain Guides, British Mountain Guide, Mountain Guide School, dan lain sebagainya. Jadi, selamat datang APGI!
Tahun lalu, APGI telah menyelenggarakan sertifikasi pemandu gunung di 4 kota besar yaitu Jakarta, Manado, Yogyakarta, dan Malang dengan jumlah peserta lulus sekitar 150 orang. “Lumayan, tahun ini mau lebih banyak lagi. Proyeknya APGI mau mensertifikasi seluruh pemandu gunung di Indonesia”, Mbah menjelaskan. Mbah Jarod sendiri bisa dibilang ‘orang lama’ di gunung (makanya dipanggil Mbah, hahaha). Tergabung dalam mapala Satu Bumi, Mbah mastering pendakian gunung sampai melakukan berbagai ekspedisi besar dan segarang gabung di APGI.
Secara de facto, Mbah jadi guide sejak tahun 2006 bekerja sama dengan tour agent. Dari semula menjadi guide wisata freelance, perlahan tapi pasti Mbah Jarod membangun karirnya sendiri. Kuliahnya berantakan, tapi tidak dengan karirnya. “Dulu masih jadi guide backpacker, jadi gaji seadanya aja. Pernah bawa 10 orang, dibayar cuma Rp150ribu!”, Mbah menceritakan awal derita menjadi pemandu. Saya sendiri dulu pernah nge-guide perahu arung jeram, sekali trip dibayar Rp50ribu. Buat pijit aja kurang, hahaha. Apalagi yang naik turun gunung.
Menurut saya, sertifikasi pemandu gunung ini adalah program revolusioner. Tidak ada lagi pemandu abal-abal yang tidak profesional karena meski punya banyak pengalaman, sertifikasi pemandu gunung mengases apakah si pemandu sudah memenuhi standarnya baik dari segi lapangan, manajerial, dan hospitality. Jadi buat yang ratusan kali naik gunung tapi kerjaannya cuman selfie, ninggalin sampah, coret-coret batu, ninggalin peserta, tidak menyediakan makanan, tidak bawa P3K, tidak ramah, tidak profesional, dan tidak memenuhi SKKNI: BHAY!
“Because as a mountain you can’t grow, but as human, I can” – Edmund Hillary
Profesi pemandu gunung di Indonesia memang belum mendunia dan belum diakui kompetensinya secara internasional. Makanya APGI memiliki misi untuk memerdekakan para pemandu gunung lokal agar bisa berkarya di negeri sendiri dengan melakukan pelatihan, sertifikasi, dan sosialisasi. Misalnya pernah ada pendaki dari Perancis, mau naik Gunung Cartenz bawa guide sendiri karena belum percaya sama guide Indonesia. Seharusnya kan gak begitu ya! Makanya sertifikasi ini juga menjadi pendorong agar para guide memperbaiki kompetensinya, misal kemampuan bicara bahasa asing ditingkatkan, pelayanannya lebih bagus, manajerial juga lebih advance sehingga kita bisa jadi benteng bagi tenaga kerja asing.
Harapan saya sih nantinya bakal ada ketentuan yang mengatur kalo mau naik gunung di Indonesia, guide/arranger-nya harus orang kita juga. Tentu saja pemandu harus certified baik secara nasional dan internasional. “Sama kalo kita ke Elbrus atau Kilimanjaro, kan harus pake guide orang sana”, kata Mbah Jarod sambil menyesap jus sirsak yang mulai berkeringat.


Saya kemudian teringat akan banyaknya open trip mendaki gunung lalu lalang di Instagram. Open trip murah dengan embel-embel ‘pemandu profesional’ hampir selalu ada. Saya sendiri tidak paham bagaimana itu ‘pemandu profesional’ dan seperti apa trip pendakian massal itu. “Open trip Instagram itu murah-murah banget, misal seorang Rp1juta itu murah. Peserta yang ikut ada 15 orang eh guidenya cuma 1 orang itu kan sebenarnya gak bisa”, terang si Mbah.
Meski Mbah juga punya open trip, tapi pangsa pasarnya menengah ke atas. Jadi kalo kamu ikutan open trip-nya Equator Indonesia, kamu akan bahagia karena guide yang masakin kamu dan melayani secara eksekutif. Porter pun personal khusus untuk kamu. Kembali lagi, ada harga ada rupa.
Tapi sebenarnya meski mau bikin open trip murah meriah, pemandu tidak boleh asal-asalan dan harus mengutamakan safety procedure. Saya pernah mau ikut pendakian massal Gunung Rinjani sebuah tour agent di Instagram. Iklannya kece secara disain dan informasi. Tapi salah seorang blogger mereview buruk pendakian massal yang dia ikuti bersama provider itu. Konon guide tidak profesional, tidak sesuai pesanan, dan tidak menepati janjinya. Niat ikut jadi bubar deh.
“Standarnya itu 1:1, misal tamu 15, guidenya 3, porter pribadi 7 orang, porter kelompok bawa 12 orang. Nyaman itu,” Mbah Jarod menjabarkan servis minimal bintang 3 miliknya. Memang nyaman kedengarannya, ya (dan rame bener hahaha). Tidak heran kalo tamu-tamu Mbah dari Jerman, Perancis, Malaysia, Singapur, semua puas dengan pelayanan lussuoso a la Equator Indonesia.
“Meski beda-beda provider, fondasi pemandu gunung itu sama, yaitu pelayanan” – Mbah Jarod

Secara umum, aktivitas pemandu gunung itu dibagi dua sesi: jalan dan istirahat. Mbah Jarod menjelaskan, “Biasanya turis asing itu kalo jalan ya jalan terus, gak pake istirahat. Dan kalo istirahat ya maunya istirahat total, langsung tidur. Jadi pas misal ada tetangga sebelah yang rame tuh dia protes dan guide harus bisa negosiasi sama tetangganya”.
Sesuai modul pelatihan mountain guide, bahwa kualitas tidur lebih penting daripada kuantitas tidur. Ini juga yang perlu diperhatikan oleh pemandu gunung yaitu karakteristik kliennya dan harus cekatan dengan segala kondisi. Karena pada dasarnya, aktivitas ini melibatkan 3 unsur yaitu provider, pemandu, dan klien dengan basic competencies skill, knowledge, dan attitude. Yeah, ini benar-benar pekerjaan serius.
Satu lagi pesan Mbah untuk jadi guide yang profesional yaitu MEMENUHI apa yang sudah dijanjikan. Misalnya hotelnya bintang sekian, maka hotel harus sesuai. Waktu istirahat jam sekian, ya harus jam segitu juga istirahatnya. Apalagi kalo urusan jalan, misal tamunya jalannya cepat, guide harus menyesuaikan. Pokoknya apa yang sudah ditulis dalam paket, itulah yang harus dipenuhi. Kalo tamu ada permintaan aneh-aneh seperti minta minum darah kobra tapi dalam perjanjian tidak menyebutkan itu, tamu dipersilahkan mencari sendiri. Profesional itu wajib hukumnya untuk dijaga. Siapa pun tamunya dan dimanapun gunungnya, profesionalisme nomor satu.
Jadi, jika saya boleh meminjam kalimat pembuka saya di tulisan ini dan saya kembangkan sedikit, saya ingin bertanya kepada para mountain guide diluar sana. Kenapa kamu naik gunung sebagai pemandu? Kenapa harus kamu yang menjadi pemandu? Dan kenapa mereka, para tamu dari seluruh belahan dunia harus percaya dengan kamu sebagai pemandu? Seperti kata Deepak Chopra, in order to trust your body as a guide, the first step is to begin to understand it. Pintu sudah diketuk dan terbuka lebar. Wadah untuk berkembang sudah tersedia. Angin segar berhembus untuk para pemandu. Selamat berkembang dan avignam jagat samagram, semoga selamatlah alam semesta.