Tulisan kali ini adalah favorit saya dari seluruh cerita tentang Pokhara. Setelah menikmati lebaran kenyang, kali ini saya mau cerita tentang tempat wisata yang kami kunjungi di Pokhara. Tempat-tempat yang paling dekat dan mudah di jangkau dari Lake Side (sebutan untuk Danau Phewa), yang murah meriah dan bisa dijangkau dengan bus lokal dan jalan kaki. Beruntung sekali musim hujan yang seharusnya terjadi lagi gak niat-niat amat muncul, jadi kami jalan panas-panasan dengan kaos yang lumayan tebal (karena disiapkan untuk musim hujan), celana kaos, dan dahaga puasa.
Perjalanan ke seluruh tempat wisata ini kami tempuh naik bus dan jalan kaki. Karena itu, banyak banget hal khas Nepal yang kami temui sepanjang perjalanan. Salah satunya adalah pemandangan pagi, di mana kami melihat anak sekolah berbaris rapih dengan sendirinya, mengurutkan dari yang paling kecil sampe ke paling besar, berbaris tertib menunggu bus sekolah menjemput. Pas bus sekolah dateng pun mereka masuk dengan tertib gak pake dorong-dorongan. Pemandangan yang menyenangkan ngeliat anak sekolah udah mulai berbudaya antri. Uniknya lagi, mereka gak pakai ransel untuk ke sekolah melainkan totebag kecil yang biasa kita dapat pas belanja di minimarket—Nepal meminimalisir penggunaan plastik kresek.
Lewat satu bus jalur stupa, kami bisa berhenti di beberapa titik tempat wisata karena semuanya berada di pinggir jalan utama. Mudah kan? Kita tinggal bilang saja ke supir bus kalau mau mampir ke stupa, air terjun, atau museum. Khusus untuk museum, arah jalannya berlawanan tapi menggunakan bus yang sama. Kita kenalan sama objek wisata Pokhara yok.
Davi’s Fall
Salah satu objek wisata terkenal di Pokhara adalah Davi’s Fall, sebuah air terjun yang, sebenernya jalurnya kecil aja, tapi punya terowongan yang tinggiiiiii banget. Air terjun ini konon menjadi TKP meninggalnya istri Mr. Davi, yang saat itu sepasang sejoli asal Swiss ini lagi berenang bareng. Kalau dilihat dari atas, air terjun ini memang kolongnya dalem banget. Gak keliatan. Gelap pula. Pun saat kejadian Mrs. Davi jatuh, tubuhnya ditemukan di Sungai Phusre tiga hari kemudian dan dievakuasi dengan susah payah.
Nama Nepali untuk air terjun ini adalah Patale Chango yang artinya “underworld waterfall”. Tapi kalau nanya sama orang lokal mereka lebih familiar menyebut Davi’s Fall. Biaya masuknya NPR30, lumayan murah ye, tapi memang tempatnya ya biasa aja sih. Untuk pergi kesini, dari lake side kami naik bus lokal yang bisa di stop di pinggir jalan. Naik bus pertama NPR15, lalu berhenti di pertigaan besar Birauta Chowk lalu lanjut bus ke arah Chhore Patan (arah stupa lah pokoknya) dengan tarif NPR20.
Di bagian taman air terjun ada sebuah kolam untuk melempar koin. Kolam itu bulat dan pinggirannya pagar yang bentuknya kayak kelopak mata. Dari jauh memang kolam ini serupa mata manusia. Nah di dalam kolam, ada patung dewa kecil. Barang siapa yang melempar koin lalu bisa mendarat di tepi patung, konon permintaannya akan terkabul. Ada Nepali yang menjual uang koin (gak tau ya itu koin Nepal atau koin mana), tapi saya memutuskan pake uang koin seribuan punya Indonesia aja hahaha. Saya pun coba lempar koinnya dan ta daaaa! Mendarat di patung dewa dong!
World Peace Pagoda
Sebelum ke Davi’s Fall, kami pergi dulu ke Shanti Stupa, atau juga dikenal dengan World Peace Pagoda. Dari bus kedua tadi kami berhenti di Chrroe Patan tepat setelah melihat papan penunjuk arah ke stupa. Dari situ kami jalan kaki mengikuti jalan besar sampe jauuh banget ke atas. Ternyata untuk menuju stupa, kami harus trekking. Hix hix.
Trekking total kena 1,5 jam pakai ngaso-ngaso di tiap tikungan besar. Ampun deh ini siang bolong, trekking, puasa juga. Jalanannya menanjak terus gak pake toleransi. Beruntung lagi musim panas, kalau hujan udah pasti deh kepeleset terus karena jalannya bertanah. Setiap ada pancuran air, kami numpang cuci muka supaya segar. Sungguh cobaan.
Saat trekking, kami ketemu seorang Nepali yang sedang menggiring kerbau. Saya ijin ajak dia foto bareng dan si ibu menyetujui. Tapi setelah foto, si ibu minta uang. Saya gelagapan soalnya, jujur, uang kami ngepas dan kami agak khawatir kalo kasih-kasih uang gitu nanti banyak lagi yang minta nanti tambah banyak terus kami gak bisa makan sampe berhari-hari ke depan. Jadi saya bilang, “bu maaf kami gak bawa uang”, sambil pasang muka penuh iba. Ibunya pun memaklumi dan gak masalah. Tapi pas lanjut jalan, saya jadi gak tenang karena udah bohong (iya, kami bawa uang banyak). Saya minta Mas Gepeng untuk turun balik ke si ibu dan kasih uang. Pas dikasih, ibunya nolak, sepertinya dia juga paham muka-muka turis kere hahaha. Makasih ya ibu. Sehat-sehat ya.
Setelah jalur trekking habis, perjalanan masih lanjut menempuh anak tangga yang masya allooohh gak tau kapan ending-nya. Capek banget serius! Kelojotan panas-panas! Karena kami gak kuat menahan dahaga, akhirnya mokel hahaha. Kami beli air mineral dan jus buah kotakan buat batalin puasa. And after long-fight with our-selves, finally, people! Finallyeaaaaah! World Peace Pagoda! Yihaaaaa!
Kalau baca-baca di banyak literatur, World Peace Pagoda ada dimana-mana di seluruh dunia, mulai dari Afrika Selatan, India (disini ada 7 buah Peace Pagoda lho!), Jepang, Sri Lanka, Korea, Brisbane, Munich, Vienna, London, Mexico, California, New York, dan yang sekarang ada di depan mata kami. Peace Pagoda merupakan stupa yang dibangun sebagai bentuk perjuangan terhadap perdamaian dunia. Kebanyakan dari pagoda ini dibangun sejak Perang Dunia II di bawah arahan seorang biarawan dari Jepang dan juga founder-nya Nippozan-Myōhōji, bernama Nichidatsu Fujii (1885 – 1985).
Kalo yang di Pokhara ini, dibangun di atas Bukit Ananda tahun 1947 oleh Nipponzan-Myōhōji biarawan Morioka Sonin bekerja sama dengan para Nepali. Di bagian depan, kami melihat ada rumah tempat para biarawan berdoa. Turis-turis boleh ikutan masuk dan berdoa asalkan melepas alas kaki dan duduk dengan tenang, gak membuat suara sama sekali. Ingat ya, dilarang juga ngagetin biarawan yang lagi berdoa. Udah tua, takut jantungan.
Shanti Stupa merupakan pagoda yang seluruh warnanya putih (dan masih bersih banget lho!). Disana terdapat 4 buah patung Buddha yang merupakan hadiah dari berbagai negara: ‘Dharmacakra Mudra’ dari Jepang, ‘Bodh Gaya’ dari Sri Lanka, ‘Kushinagar’ dari Thailand, dan ‘Lumbini’ dari Nepal. Masing-masing patung memiliki cerita sendiri tentang perjalanan Buddha dimasing-masing tempat itu misalnya Lumbini, adalah tempat dimana Buddha dilahirkan.
Kami pun tidur-tiduran disekitaran pagoda, duduk santai, ngaso-ngaso sebelum turun bukit. Dan setelah menulis semua ini, dari semua foto yang telah kami ambil, sepertinya sudah saatnya kami punya tripod buat, setidaknya ada foto berdua yang bukan selfie hahahaha.
International Mountain Museum
Another highlights from our Pokhara’s trip was the museum. Dari Birauta Chowk jalan kaki ke arah Ghari Patan sekitar 30 menit (jadi berasa lebih lama kalo jalannya siang bolong, like we did). Resmi dibuka pada tahun 2004, museum ini menjadi ‘pencerita’ sejarah kegiatan mountaineering khususnya yang terjadi di pegunungan Himalaya.
Museum buka setiap hari dari jam 9 pagi sampe jam 5 sore. Parkirannya luas dan jalanannya adem banyak pohon. Di halaman paling depan boulder yang bentuknya seperti gunung. Pengen coba, tapi takut bayar hahaha. Sebelum masuk ke museum, kita akan disuguhkan beberapa hal salah satunya monumen untuk mengenang mereka (para mountaineering) yang gugur saat mendaki himalaya.’
Monumen atau tugu kecil ini sungguh menyentuh hati. Tersusun dari batuan, dibawahnya diletakkan banyak batu kali yang konon satu batu merepresentaskan satu orang pendaki yang gugur. Kami jadi ingat teman-teman pendaki kami pas masa kuliah dulu. Mereka ada orang-orang yang berani dan menyenangkan. Semoga mereka selalu diberi keselamatan saat naik gunung lagi kapan pun itu.
Setelah melihat-lihat monumen, kami lanjut masuk ke gedung museum. Gedungnya besar, Sudah seperti bangunan peternakan. Bahagia banget saya liat museum rapih, bersih, dan banyak peminatnya. Kami sebenernya sempet mengurungkan niat masuk museum karena harganya mahal banget. Men, NPR400 per orang, men! Berdua jadi NPR800! Giling gak tuh! Sudah harga hidup di Pokhara sehari itu mah! Tapi masa iya udah jauh-jauh kesini, jalan kaki panas-panas, mana udah mau ujan juga, gak jadi masuk. Jadi disinilah kami, di museum gunung.
Banyak banget cerita yang bisa diambil disini. Mulai dari film dokumenter tentang pegunungan Himalaya beserta penduduk disekitarnya, sampe cerita pencatatan puncak-puncak tertinggi dunia itu. Ada juga dokumentasi orang-orang hebat yang udah memuncaki gunung-gunung tinggi diatas 8000mdpl, peralatan mendaki dari jaman dahulu sampe sekarang, peralatan masak orang-orang Sherpa, dan catatan sejarah lainnya. Birahi deh buat para anak gunung. Dari museum ini saya tau, kalo Everest bukanlah nama orang yang pertama kali muncak gunung tertinggi di dunia itu, melainkan orang yang pertama kali mengukurnya.
Puas deh jalan-jalan di Pokhara. Semua tempat didatangi dengan effort yang luarrrr biasa ekstra mantap hahahaha. Saya suka banget ngeliat truk-truk disini, anak kecil, anak SMA yang dikuncir dua rambutnya, kerbau di tengah jalan (salah satu hal yang pualing saya suka di Nepal ahahaha), ramahnya supir bus, angin dingin, Nepali yang sangat ramah, oh bahagia sekali di Nepal. Bahagia lagi karena makanan-makanan maha nikmat yang kami nikmati, khususnya di Pokhara uuuuwww. See you in the next post (about that delicious fellas!).
1 Comment. Leave new
theme blognya bagus, ulasan ceritanya juga bagusss, sukses selalu yaa. tau gak ya kalau mau tour ke thailand yang murah dimana ya?