Aku berjalan dalam gelap sebuah perkotaan kecil yang lusuh. Setelah menikmati teguk terakhir setengah cangkir kopi hitam pekat yang manis, yang akhirnya menjadi minuman penghantar rasa getir pahit malam yang singkat. Kemudian aku menengadah, mencari bulan yang hilang ditelan ramainya awan hitam. Mencari terus bayangan gempita berlumuran dosa. Mencari apakah ada yang hilang di sebagian malam.
Sesingkat itu manusia pergi. Memenuhi permintaan Tuhan untuk menyebut nama-Nya setiap waktu, berbuat baik dan menjaga tanah leluhur. Dan kembali menyuburkan surga dengan manusia-manusia yang bersih. Itu lah kamu. Bersih. Yang kuyakini mampu menghadirkan bulan sepekat apapun awan malam itu. Yang mampu menyejukkan nurani semerah apa pun matahari siang itu. Dan waktu terus lewat, berjalan mengikuti takdirnya. Ia tidak akan berhenti untuk menungguku mengajakmu menari di bawah bulan. Ia akan terus berjalan bahkan melewati waktuku yang semakin sempit. Manusia selalu menciptakan batasan untuk hidup mereka sendiri, aku manusia yang bodoh yang menciptakan batasan yang terlalu tebal.
Bulan menghilang, hidup mu juga. Awan begitu pekat, begitu juga hidup ku. Pada akhirnya kita akan terus saling menanti, entah di ujung jalan atau di tengah jembatan. Kita hanya perlu menanti, membiarkan waktu lewat tanpa perlu permisi.