“Kami orang Toraja lebih meriah dalam merayakan pesta kematian ketimbang kelahiran atau pernikahan.”
Begitu yang dikatakan oleh ibu pemilik rental motor di Rantepao pagi itu. Kalimat introduksi yang menakjubkan itu seketika membuat rasa lelah dari perjalanan darat Makassar-Toraja selama delapan jam berubah menjadi hasrat menggebu. Hasrat untuk segera menjelajahi daerah yang terkenal dengan aura magis yang kental ini. Beruntungnya kami, karena ibu pemilik rental motor ini adalah mantan tour guide, sehingga saya diberi peta gratis beserta rekomendasi tempat-tempat menarik yang bisa dikunjungi selama dua hari.
Secara administratif, wilayah Tana Toraja terbagi menjadi dua; kabupaten Tana Toraja dengan ibukota Makale, serta kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Di Rantepao inilah para turis biasanya menjejakkan kaki. Maklum, destinasi-destinasi menarik di Toraja lebih banyak tersebar di utara, sehingga lebih mudah untuk dicapai dari sini.
Setelah mendapat motor, kami segera bergegas mencari sarapan dan penginapan. Meskipun mayoritas penduduknya beragama Kristen, mencari makanan halal di Rantepao bukanlah hal yang sulit. Telah banyak tersedia warung-warung makan berlabel halal di tiap sudutnya. Biasanya penjualnya adalah para perantau dari Jawa yang mencoba mencari peruntungan di kota yang dulu merupakan wilayah paling misterius di Sulawesi ini. Tana Toraja memang misterius, konon Belanda sempat mengacuhkan tempat ini selama dua abad karena sangat sulitnya akses menuju ke sana. Daerah yang dikelilingi oleh gunung dan tebing-tebing curam ini baru benar-benar dikenal oleh dunia internasional pada tahun 1970-an setelah National Geographic mendokumentasikan upacara pemakaman bangsawan terakhir Toraja yang berdarah murni, Puang dari Sangalla.
Mencari penginapan di sini juga mudah. Tersedia bermacam penginapan dengan harga dan fasilitas yang bervariasi. Tetapi ini adalah bulan Desember, bulan di mana warga Toraja dari berbagai penjuru dunia akan mudik untuk merayakan natal bersama keluarga. Bulan di mana turis lebih banyak berdatangan demi melihat upacara-upacara yang bakal lebih banyak dilaksanakan. Konsekuensinya jelas: penginapan lebih banyak yang penuh dan harga sewanya dinaikkan. Saya dan tiga orang teman yang lain mendapat satu-satunya kamar yang tersisa di sebuah homestay yang tidak terlalu nyaman. Setelah tawar-menawar, disepakati harga 250 ribu rupiah semalam untuk diisi berempat.
Destinasi hari pertama adalah ke utara, ke arah pegunungan. Motor sewaan bekerja keras untuk melewati jalanan menanjak yang berlubang. Satu dua motor yang “membonceng” babi melewati kami. Melintas pula beberapa mobil pick-up yang mengangkut kerbau. Saya diberitahu sebelumnya, jika ada orang yang membawa babi atau kerbau di jalan, kemungkinan besar mereka sedang menuju tempat pesta. Ternyata benar, di daerah Bori sedang dilaksanakan pesta kematian.
Kami memarkirkan motor di pinggir jalan, berdampingan dengan motor-motor lain yang entah milik keluarga, kerabat, atau mungkin sama-sama orang asing seperti saya. Satu hal yang saya tangkap dalam pesta kematian orang Toraja: meriah. Para pemuda menyembelih babi, menampung darahnya dalam batang-batang bambu, kemudian membakar bulunya hingga rontok menggunakan selang panjang yang terhubung dengan tabung gas. Beberapa ibu memasak daging yang telah siap diolah di dalam wajan-wajan besar. Anak-anak berlarian kesana-kemari. Sebagian besar sisanya asyik berbincang di bawah sederetan tongkonan (rumah adat Toraja) sambil mendengarkan semacam pidato, doa, serta mantra dari seorang tetua adat lewat pengeras suara. Sama sekali tidak ada aura duka. Belum lagi rangkaian adu kerbau dan pembantaian kerbau yang alih-alih mengundang kesedihan, tetapi malah mengundang sorak-sorai dari siapa pun yang hadir.
Terbesit dalam pikiran saya, apa yang dirasakan keluarga yang ditinggalkan dalam pesta semacam ini. Apakah mereka bahagia, atau justru menyembunyikan kesedihannya di sela gelak tawa. Jawabannya datang dari seorang pemuda Toraja yang saya temui. Dia bilang, pada saat ada orang meninggal, orang-orang di sekitarnya pastilah sedih. Tapi adat adalah adat. Pesta tetap harus dilakukan. Akhirnya kesedihan itu akan tergantikan oleh kesibukan menyiapkan pesta. Orang Toraja menganggap sakral sebuah kematian. Bagi mereka kematian bukanlah akhir dari perjalanan hidup seseorang. Ketika meninggal, arwah seseorang akan melakukan perjalanan menuju tempat bernama Puya. Untuk mempermulus perjalanan orang arwah tersebut, orang-orang yang masih meninggal akan mempersembahkan kerbau sebagai kendaraan dan babi sebagai makanannya.
Maka bisa dipahami mengapa keluarga yanng ditinggalkan akan berusaha sekuat tenaga untuk mempersembahkan kerbau dan babi sebanyak mungkin. Selain untuk mempermudah perjalanan si arwah, kuantitas persembahan juga berpengaruh pada status sosial keluarga tersebut. Orang Toraja juga percaya, jika pesta kematian tidak dilakukan dengan “layak”, ketidakberuntungan akan menaungi keluarga mereka serupa mendung.
Karena salah satu teman saya tidak tahan melihat darah babi yang menggenang di tanah, kami pun melanjutkan perjalanan. Destinasi berikutnya adalah Bori Parinding, sebuah komples kuburan untuk masyarakat dari desa sekitarnya. Harap diingat, orang Toraja tidak mengubur mayat di dalam tanah, tetapi di dalam batu. Mereka menganggap tanah adalah elemen suci yang menumbuhkan kehidupan, sehingga mayat lebih baik disimpan dalam batu. Kondisi geografis Tana Toraja yang dikelilingi oleh batu-batu granit raksasa pula lah menurut saya yang memungkinkan budaya itu ada. Di Bori Parinding, selain terdapat batu-batu besar yang telah diisi dengan peti mati, foto-foto almarhum yang dibingkai rapi serta keranda-keranda mayat, juga terdapat banyak sekali batu menhir berbentuk phallus.
Batu-batu menhir dengan berbagai ukuran itu merupakan buatan masyarakat sekitar sebagai penanda jika ada pemuka masyarakat yang meninggal. Tradisi unik tersebut telah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Saya tidak tahu apa alasan tepatnya pembuatan menhir-menhir ini, namun kehadiran batu-batu tegak berbentuk alat kelamin pria di berbagai budaya dipercaya merupakan simbol yang mewakili oposisi biner yang jika dikawinkan akan menumbuhkan kehidupan baru. Mungkin di sini juga seperti itu. Di antara menhir-menhir tersebut terdapat semacam rumah pohon bernama lakian yang merupakan tempat untuk membagikan daging kerbau dan babi yang telah dipotong. Kemudian semua yang hadir akan makan bersama di salah satu tongkonan bernama balai kayam.
Destinasi berikutnya adalah kuburan bayi di Pana. Perjalanan ke Pana merupakan pengalaman yang breathtaking, karena melewati sebuah daerah yang luar biasa indah bernama Batutumonga. Daerah ini merupakan dataran tinggi di mana kita bisa melihat kota Rantepao dan hampir keseluruhan Tana Toraja dengan begitu jelas. Sungai-sungai kecil yang mengairi areal persawahan, yang sebenarnya merupakan pemandangan yang biasa ditemui di Jawa, menjadi tampak sangat istimewa dengan kehadiran kerbau dan burung jalak yang mencari kutu di atasnya, serta beberapa atap tongkonan yang menyembul dari kejauhan. Sungguh ganjil pikir saya, kehidupan justru terasa sangat hidup di daerah yang identik dengan kematian ini.
Satu hal yang sangat saya sayangkan dari Toraja Utara adalah minimnya papan penunjuk arah. Jika pun ada papan penunjuk, itu adalah buatan mahasiswa KKN yang seringkali malah membingungkan. Untuk sampai ke kuburan bayi ini, kami harus berkali-kali bertanya kepada warga sekitar. Tempatnya tersembunyi di sebuah tebing di balik kebun dan pepohonan. Tebing setinggi belasan meter dilubangi untuk di sana-sini untuk kemudian dimasukkan peti-peti mungil berisi jenazah bayi. Di dasar tebing terlihat beberapa tengkorak dan belulang yang terkumpul dalam peti panjang. Entah jatuh atau sengaja diletakkan di sana. Karena ada pula beberapa daerah yang menaruh peti berisi jenazah bayi di atas pohon, bukan di dalam batu. Mungkin karena tempatnya yang tersembunyi dari keramaian dan lembab oleh embun dan pepohonan, suasana di kuburan bayi itu terasa sunyi dan dingin, sangat dingin. Mungkin karena semesta sengaja mendesain tempat yang nyaman untuk para arwah bayi itu agar mereka lelap dalam tidur panjangnya.
Hari itu kami habiskan dengan berkeliling kota karena hujan tak lama turun dengan derasnya. Esoknya kami berkendara menuju selatan, tempat di mana objek-objek wisata lebih membutuhkan usaha yang lebih sedikit untuk dikunjungi dibandingkan dengan di utara. Dibandingkan akses jalan menuju utara yang sempit dan berlubang, jalan menuju selatan sangat lebar dan mulus. Maklum, ini adalah jalan penghubung Rantepao dan Makele yang selalu ramai dilewati. Pengaruhnya jelas: objek-objek wisata di selatan Rantepao begitu mudah didatangi dengan papan penunjuk raksasa yang disponsori oleh satu satu perusahaan operator selular. Pengelolaannya pun lebih bagus. Lebih bersih, lebih tertata, dan lebih rapi.
Tempat pertama yang kami datangi adalah Londa, kuburan di dalam goa. Di dinding luar goa, terdapat jajaran boneka-boneka kayu berbentuk manusia yang merupakan perwujudan dari orang yang meninggal. Boneka-boneka itu bernama tau-tau. Tau-tau tidak dibuat untuk sembarang orang, boneka yang terbuat dari kayu pohon nangka ini hanya dibuat untuk para bangsawan. Untuk masuk ke dalam goa, kita membutuhkan jasa guideyang merangkap sebagai pembawa lampu petromaks. Menurut guide kami, kuburan goa ini khusus digunakan oleh keluarga Tongkele. Pertama jenazah akan diawetkan dengan balsem agar tidak berbau. Kemudian dimasukkan ke dalam peti dan ditaruh begitu saja di sudut-sudut goa yang cukup panjang ini. Peti-peti yang sudah lapuk akan hancur, dan tengkorak serta tulang-belulang si jenazah akan dikumpulkan di satu tempat. “Kenapa tidak dimasukkan ke peti yang baru?” tanya saya. “Karena untuk mengganti peti harus melalui upacara lagi, biayanya sangat besar,” jawab guidekami.
Di salah satu sudut goa terdapat sepasang tengkorak yang diletakkan berdampingan. Masyarakat sekitar sini menyebut mereka sebagai “Romeo & Juliet”-nya Toraja. Mereka adalah sepasang kekasih yang hubungannya tidak direstui oleh orangtua mereka lantaran hubungan mereka masih sepupu dekat. Kemudian suatu hari mereka gantung diri bersama-sama. Saya tersenyum, kematian justru malah membuat mereka dengan tenang bisa berdampingan selamanya.
Kuburan berikutnya yang menjadi tujuan adalah Lemo. Ini adalah kuburan di dalam pahatan tebing-tebing curam. Ketika pertama melangkahkan kaki, puluhan tau-tau berdiri memandang saya dari atas tebing. Tangan mereka terentang ke depan, seolah sedang menyambut kawan lama yang sudah lama tidak berkunjung ke rumahnya. Secara keseluruhan, Lemo adalah kompleks kuburan yang indah dengan areal persawahan yang luas di hadapannya. Di areal persawahan itu terdapat beberapa saung yang menjual tau-tau untuk suvenir. Saya masuk ke dalam salah satu saung yang tidak berpenjaga. Tau-tau dengan berbagai rupa tersedia di sana. Dari cerita yang saya dengar, semenjak Tana Toraja makin sering didatangi oleh turis, semakin banyak tau-tau yang dicuri untuk dijual ke museum atau sekedar dijadikan pajangan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, tau-tau yang masih tersedia di kuburan biasanya dipasangi pagar atau bahkan teralis besi agar tidak dicuri. Satu hal yang ironis, tau-tau yang dipercaya dapat melindungi keluarga yang masih hidup malah harus dilindungi dari para pencuri.
Destinasi terakhir yang kami kunjungi adalah Kete Kesu. Ini adalah tempat paling populer di Tana Toraja. Di sana bisa diibaratkan sebagai “Toraja mini”, karena memiliki semua hal yang merupakan daya tarik dari Tana Toraja secara keseluruhan. Di tempat ini terdapat berbagai bentuk tongkonan, kuburan batu, tengkorak, goa, kerbau, sampai toko suvenir. Tapi jujur saja, saya justru tidak betah di sini. Bagi saya Kete Kesu terasa begitu artifisial. Di sekitar kuburannya pun para turis sibuk berfoto dengan gayanya masing-masing. Beberapa bahkan ada yang menggunakan tengkorak dan tulang-belulang sebagai properti foto. Entah bagaimana reaksi para arwah itu ketika tengkorak mereka dimainkan oleh para turis untuk kemudian terpampang di jejaring sosial.
Berakhirlah perjalanan saya di tempat kearifan lokal dan doktrin Kristiani dapat menyatu dengan indah ini. Tempat di mana masyarakatnya memiliki pride yang tinggi. Tempat di mana aroma kematian begitu terasa dekat, sehingga ia bukanlah hal yang menyeramkan, tetapi entitas yang perlu diakrabi, bahkan dirayakan. Saya dulu bercita-cita ketika saya meninggal, tubuh saya dikremasi kemudian abunya dibuang ke laut. Tapi sekarang saya berpikir, dikubur di dalam batu sepertinya asyik juga…
P.S.: Foto dan tulisan oleh Abiyoso (yang juga dimuat disini) Perjalanan pertama backapcker-an saya sama Mas Gepeng pas masih jadi teman, bareng Kak Abi dan pacarnya (sekarang istri) Zizi, bulan Desember tahun 2012. Ternyata beneran double date.
2 Comments. Leave new
kebenaran bgt post soal toraja juga, haha..
salam kenal mbakjust
:))
Ya ampun Sungai Maiting! Salah satu impian aku bisa ngarung kesana huhu bagus yaa. Salam kenal juga Mbak Syam 🙂