Sudah dalam rencana saya untuk mulai banyak bercerita tentang kampung halaman saya yang baru. Yogyakarta. Libur panjang 3 hari kemarin saya habiskan disana, sengaja mengambil cuti 1 hari untuk menambah waktu liburan singkat akhir pekan. Diantara sejuknya suasana paska hujan di Jakarta, saya dan Mas Gepeng naik Gojek ke Stasiun Senen. Sore itu, semesta seolah sedang bersenandung untuk kami. Bagaimana tidak? Jalanan lancar, tidak ada cipratan laknat genangan air, kecepatan aman abang Gojek, bau basah bercampur tanah yang seksi, tidak ada ranting menampar jidat, dan sampai sejam sebelum kereta berangkat. Kereta Bogowonto datang dan pergi tepat waktu, membuat saya dan Mas Gepeng tetap bisa mempertahankan jam biologis kami.
Sejak tahun 2008, sejak saya mulai tinggal sementara sebagai mahasiswa baru, Jogja selalu bisa membuat hati saya berbunga. Mengunjunginya rutin pun tidak pernah menimbulkan sesal. Kami di jemput oleh Ibu dan adik ipar menuju rumah dan sarapan bubur ayam. Hari Jum’at di Jogja saat itu panas sekali, dan entah kenapa setiap ke Jogja saya selalu menjadi tambah hitam. Berbeda ketika saya jalan-jalan siang bolong di Jakarta, meskipun memakai sun block SPF 50, saya akan selalu menjadi hitam di Jogja. Ini seperti nostalgia alami karena dulu 4 tahun tinggal di Jogja saya memang sedang hitam-hitamnya.
Saya dan Mas Gepeng berencana melakukan banyak hal di Jogja. Kami jalan-jalan menelusuri gang terpencil, mengunjungi beberapa tempat, menikmati santai dan nyamannya kota tempat kami bertemu 7 tahun lalu. Selamat menikmati perjalanan kami lewat foto-foto berikut.
Jadi, bagaimana Yogyakarta?
Masjid Perak, Kotagede
Siang itu Mas Gepeng berencana untuk mengajak saya ke masjid-masjid khas Jogja, salah satunya Masjid Perak Kotagede. Masjid ini letaknya terpencil didalam gang, berdekatan dengan rumah penduduk, madrasah, dan tempat pertemuan warga. Saya paling suka sama gerbang-gerbang Masjid Perak ini, kaya benteng istana perang. Bisa dibilang bangunan masjid ini unik ga kaya masjid biasanya. Ornamen seperti kayu, ukiran, dan tegel pada tangga dan lantainya semuanya klasik menghias apik si masjid mungil.
Masjid Besar Kauman
Masjid Besar Kauman (orang Jogja biasa menyebut Masjid Gedhe Kauman) adalah masjid yang dibangun oleh keraton jogja. Jadi setiap keraton baik Solo mau pun Jogja, pasti terdapat masjid di bagian baratnya. Masjid besar ini bangunan awalnya adalah bangunan pagelaran, kolam tempat wudhu, dan bangunan masjid yang tinggi. Dan semua yang dibangun di sini memiliki maknanya masing-masing lho!
Tegelnya cakep ya. Motifnya sederhana tapi sangat membius. Ajak saya duduk berlama-lama disini, bicarakan apapun entah itu agama, ekonomi, resep membuat tongseng, atau trailer film The Good Dinosaur yang menggemaskan dan saya akan sangat senang. Dulu di bangunan sekitar masjid ini digunakan untuk pagelaran, pemain gamelan akan melantuntan lagu dengan harapan menarik masyarakat untuk datang ke masjid. Tapi pas waktunya shalat, musik gamelan akan berhenti dan masyarakat akan melaksanakan shalat berjamaah. Seru ya!
What an amazing ceiling! Serius ini langit-langit cakep banget. Unik. Energi mistis bercampur dengan cantiknya budaya, sungguh seperti magnet. Masjid ini benar-benar penuh magis! Dulu pernah ketemu suasana masjid kaya gini pernah saya rasakan waktu saya ke Masjid Raya Baiturracman di Aceh dua tahun lalu. Semua sudut masjid sangat mencuri perhatian, mata memandang berbinar, membuat hati teduh, dan terasa sangat dekat dengan gusti Allah SWT. Ajaib!
Ada cerita menarik terkait tingkat lantai masjid ini. Dahulu kala, masing-masing tingkat di masjid ini mewakili jenjang masyarakat. Jenjang yang paling bawah untuk masyarakat umum, yang lebih tinggi untuk abdi dalem, yang lebih tinggi lagi dan lebih masuk ke dalam itu untuk bangsawan dan keluarga keraton. Nah, yang unik lagi, meskipun tempat bangsawan ada di lantai lebih tinggi, pintu masuk ke tempat tersebut sengaja dibuat rendah dengan filosofi mereka akan tetap menunduk ketika berhubungan dengan gusti Allah SWT.
Kolam ikan ini dulu digunakan sebagai tempat mandi. Sebelum menunaikan shalat, orang-orang harus melalui lapangan berpasir untuk mensucikan kaki dari hadas, lalu berbilas cuci tangan dan kaki di kolam ini. Entah kenapa dulu mau masuk masjid itu bersucinya mesti berkali-kali lipat.
Jalan-Jalan Keliling Gang Kauman
Yaaaaay ini yang paling saya tunggu tunggu! Jalan-jalan blusukan ke gang gang untuk melihat rumah-rumah lama penduduk Jogja. Saya suka banget rumah lama! Suka suka suka! Rumah lama itu terasa homyyyy banget, apalagi kalo ada tanaman dan jendela besar-besar.
Rumah-rumah klasik sudah membuat saya jatuh cinta entah sejak kapan. Melihatnya bisa membuat saya damai, tenang, dan membayangkan kehidupan sederhana yang ada di balik susunan kayu-kayu itu. Di Jogja banyak banget rumah kaya gini. Rumah klasik yang agak mewah ada di perumahan dosen UGM dan komplek kaya di Timoho. Biasanya halamannya luas, ada kolam ikan, ada beberapa mobil, dan rumahnya bersih terawat. Nah kalo main ke pelosok-pelosok biasanya rumahnya tidak dilengkapi dengan halaman luas, banyak kandang ayam, ada sepeda bertengger di halaman, dan banyak terdengar suara orang ngobrol.
Meskipun pembangunan di Jogja sedang masif, saya masih merasakan kesederhanaan khas yang potensial untuk dirindukan sekembalinya nanti ke ibu kota. Jogja punya ‘nyawa’ dan itu melekat pada setiap orang yang menyayanginya. Dulu saat pertama kali melangkahkan jejak hidup disini, saya merasa sangat jauh dan tenang. Jogja tidak membahayakan. Jogja akan menjaga saya. Jogja akan menemani saya tumbuh. Itu terjadi sampai sekarang saya memiliki suami orang asli sini. Oh saya mau cerita sesuatu. Dulu pas kuliah, saya pernah mbatin punya suami orang Jogja, dan ternyata semesta mengamini dong! Terima kasih terima kasih.
Apakah kalian menyukai Jogja seperti saya menyukainya? Bagian mana yang paling kalian suka?
1 Comment. Leave new
foto foto nya baguss, tapi boleh saran? kayanya lebih bagus kalau font size nya sedikit lebih di perbesar, kak main juga ke blog saya ya kuliner unik di jogja