Jade Dragon dan Hadiah-Hadiah Kecilnya

Dua pria tampan asal Korea yang memakai long coat biru dan kuning itu selalu berdekatan dengan kami sejak tiba di lobi pintu masuk Jade Dragon Snow Mountain, sampai di atas sini, di salah satu kursi istirahat yang dibuat setiap beberapa kenaikan mdpl. Mereka dan teman-temannya gak terlihat baik, berusaha mengatur nafas, sesekali menghirup oksigen kaleng, lalu menggerakan kaki untuk mencegahnya tambah dingin. Kami juga gitu. Kami mungkin tampak lebih menderita tentu saja karena mereka bukan dari klan tropis macam kami ini.

Di sekitar, angin berhembus kencang dan kabut terlihat mulai turun dari puncak gunung membuat Jade Dragon Snow Mountain tampak monokrom. Jika jade atau batu giok biasanya berwarna hijau, maka gunung ini versi lainnya. Versi lebih spesial dan mungkin ‘khasiat’nya juga lebih sakti. Bayangkan, ini gunung, bukan batu. Gunung yang memiliki belasan puncak membentang sejauh 13 km dari timur ke barat dan 50 km dari utara ke selatan—entah kami berada di punggung puncak nomor berapa.

Kalau sebuah batu giok dipercaya bisa jadi jimat keberuntungan dan kesehatan, apa yang bisa dilakukan oleh gunung? Apa yang terjadi jika kami terus meniti jalan meski nafas terseok-seok, untuk mencapai puncak gunung suci yang para Naxi, suku asli Tibet, memanggilnya dengan Mount Satseto?

Salju dari langit lebih segar

Ada tiga jalur gondola untuk menuju tempat-tempat yang bisa dikunjungi di Jade Dragon, jalur paling jauh adalah the large cableway dengan tujuan mencapai altitude tertinggi scenic area yang juga dekat dengan glasier berumur ribuan tahun. Saya awalnya gak tahu menahu urusan jalur, tapi entah kenapa Agung pesan paket tur jalur ini untuk kami. Entah dia terlalu pintar atau ingin napak tilas jejak Eric Perlman (konon orang yang pertama mendaki) atau mau lihat di Puncak Shanzidou apakah ada tukang ayam syilin atau gak.

Kami naik gondola berenam dengan sepasang remaja lokal yang diam-diam saja sepanjang perjalanan. Kami jadi sungkan karena berisik sekali. Gondola berjalan dari titik 3356 mdpl menuju stasiun pemberhentian di 4506 mdpl. Dari situ, tersedia walkway berupa jembatan dan tangga-tangga kayu besi untuk menuju titik-titik tertinggi lainnya. Entah gimana dulu orang Cina bangun gondola dan niat banget bikin akses jalan kaki naik sampai ke puncak tertinggi 5596 mdpl, padahal dulu belum ada Jack Ma (lha ngapa emangnya malih?).

Kami berjalan perlahan-perlahan sekali. Lalu berhenti, hirup hirup oksigen. Jalan perlahan lagi. Terus begitu. Karena punya sinus, Mba Firda makin gak nyaman berada di ketinggian dengan cuaca menyakitkan hidung seperti ini. Tapi walau punya gak punya sinus, orang tropis memang akan merasa gak nyaman. Kalau saya gak nyaman di kaki. Sepertinya pelumas sendi saya sudah beku dihajar suhu -10º. Setiap melangkah, saya merasa ada sesuatu yang gemeretak gitu, kayak ada serpihan tulang rontok. Takut banget kalau kepeleset, kaki saya terus pecah gitu hancur berkeping-keping.

Gak lama, ada tamu yang datang tiba-tiba. Bukan, bukan datang bulan.

Saat sedang hirup-hirup oksigen kaleng, ada sesuatu bergerak di ujung tutupnya. Saya bisa melihat jelas karena posisinya sejajar langsung dengan tulang di antara kedua mata. Benda kecil banget, halus, dan goyang-goyang. Gak lama dia hilang. Wow. Ini kah yang dinamakan salju turun dari langit?

Tahun lalu saya pergi ke Innsbruck, Austria, dan di sana lah saya pertama kalinya makan salju meski saat itu sedang musim panas. Iya, saya makan yang sudah jatuh di gunung yang semoga saja gak ada orang meludah atau buang ingus di sana. Tapi di Jade Dragon, saya memakan langsung yang jatuh dari langit. Rasanya berbeza lho. Lebih segar! Lebih krenyes gitu di lidah. Saat jatuh, dia akan tampak seperti melayang karena mendarat di bulu-bulu halus mantel atau sarung tangan. Kalau disentuh secara langsung, dia akan terdiam sebentar, lalu meleleh menyatu ke kulitmu. Rasanya, wah, saya hanya bisa menangis terharu. Untungnya ini masih gerimis ringan, kalau tahu-tahu hujan salju, mungkin saya akan menangis kejer minta pulang.

“Gengs, hayuk lanjut,” ajak Agung pas kami tiba titik peristirahatan terakhir sebelum Puncak Shanzidou. Dia ingin banget menuju puncak gemilang cahaya, “Katanya di atas sana ada perosotan es.” Sesungguhnya saya mau mau saja, toh belum capek juga, hanya kaki mulai kesemutan, gesekin jempol sama telunjuk sudah gak ada rasanya. Tapi pas melihat ke atas sana, puncak sudah berselimut kabut tebal, bahkan kami sudah mulai kena kabut. Kalau sudah begini, bukan hanya mulut yang keluar asap pas ngomong, lubang udel juga pasti sudah berasap. Saya pun merasa akan sia-sia ke atas sana toh gak bisa lihat apa-apa. Saya berpikir keras. Kasihan kalau Agung sendirian. Tapi malas juga kalau naik lagi.

“Hah aku gak deh,” kata Mba Firda dengan nafas ngos-ngosan, “Hidungku udah perih banget sakit, udah agak pusing juga jadinya”

A ha. Kesempatan! Mba Firda ingin turun saja, dan wajahnya sungguh kasihan. Kayak habis dijahatin ibu tiri.

“Gue nemenin Mba Firda turun yah,” saya memutuskan dan Mas Gepeng ikut mengamini. “Sudah kabut banget gitu,” katanya. Dia mungkin sebenarnya gak masalah kalau lanjut naik. Tapi dia tadi janji beliin saya ayam syilin, saya yakin dia juga mau makanya mending turun dan makan ayam wkwk.

Agung tetap pada keinginannya menuju puncak gemilang cahaya, jadi lah dia pergi sendiri. “Lo pada nunggu di gedung situ kan, entar gue samperin ke sana,” kata Agung. Untungnya itu bukan pesan terakhir Agung karena setelah kami kembali, jajan ayam syilin, lalu helpless mencari kehangatan selama setengah jam, kami berkumpul kembali. Apakah Agung berhasil mencapai puncak gemilang cahaya? Sayangnya tidak pemirsa. Siluman kabut menghentikan langkahnya.

Kabut semakin lebat. Suasana makin dramatis. Suhu mulai menuju minus belasan digit, tandanya kami harus segera menyelamatkan diri. Kami masuk ke gedung dan antre gondola untuk turun kembali ke daratan. Buat oleh-oleh, saya dan Mas Gepeng cetak foto berdua yang diambil sebelum naik gunung, yang latar belakangnya puncak gunung tapi tempelan di green screen. Lawak tapi luvs. Lagian di atas sana kami gak banyak ambil foto.

Setelah Jade Dragon

Ada kabar gak enak ketika kami tiba di bawah. Si nyonya dan anak yang barengan kami naik mobil ternyata dia bukan istri dan anak Xi Men melainkan peserta tur sama seperti kami. Nah saat itu, dia sudah menunggu di KFC di gedung utama dan benar-benar menunggu untuk segera pulang. “Dia sudah gak nyaman,” tulis terjemahan di hape Xi Men. Kami ingin memaklumi betapa sulitnya bawa anak kecil ke tempat sedingin dan setinggi ini, tapi kami juga turis dari jauh yang belum tentu bisa ke sini dua kali. Jadi siapa memaklumi siapa? Biar Xi Men yang urus saja xixixi.

Di bawah, kami diajak mampir ke Blue Moon Valley, sebuah kolam yang benar-benar biru gak bohong, asli, benaran biru toska banget. Selain biru, airnya pun luar biasa dingin. Segar sekali ketika di-tap-tap ke wajah. Berasa jadi lebih mudah beberapa tahun. Orang-orang pun suka sekali main ke sini entah karena sedikit lebih hangat dibandingkan atas gunung sana, juga karena lembah ini cantik sekali untuk latar foto. Apalagi pemandangan di belakangnya langsung Jade Dragon, terus sekitarnya pun ornamen alam yang rapih dan menyejukan. Seperti harta karun.

Saya tiba-tiba bertanya dalam hati. Apakah sebenarnya Jade Dragon baik-baik saja ketika kami—para manusia—datang ke sana, membuat bangunan dan jalur mendaki yang mudah, menghubungkan titik rendah dan tinggi dengan sebuah kereta gantung, lalu tiap tahun, ribuan bahkan jutaan orang datang dan bersenang-senang. Apakah gunung ikutan senang? Apakah dia pernah marah?

Apakah sebenarnya gunung juga bangga ketika ada orang-orang yang menggunakannya sebagai objek prestasi? Bukan kah gunung itu guru terbaik untuk belajar rendah hati?

Xi Men mengingatkan kami bahwa ada si nyonya yang sedang kesal. Kami pun lanjut jalan menuju pintu keluar. Sepertinya apa yang kami temui selanjutnya akan bikin si nyonya semakin kesal. Di sisi kanan kami ada Sungai Baishui, ada jembatan batu yang tinggi, lalu diujung depan sana ada air terjun yang tampak seperti kue dipotong. Pemandangan ini gak boleh dilewatkan. Kami harus mampir. Kami harus memandangi semua hal ini dengan seksama, menikmati dengan sebaik-baiknya hingga hati kami penuh. Saya begitu terharu. Apa jadinya kalau saya benar-benar minta pulang sebelum naik ke Jade Dragon?

Apa jadinya kalau saya berada begitu dekat dengan surga, tapi memutuskan menjauh hanya karena emosi sesaat? Pemirsa, saya sudah kayak anak indie belum ya kok perasaan dari tadi bahasanya bahasa lamunan sekali.

Tapi benar saya terharu. Asli. Kawasan Jade Dragon memang cantik banget. Cantik, bersih, putih, cocok lah jadi bintang iklan obat pemutih di Instagram wakakak gak ding. Jade Dragon adalah spesial. Kalau saya sampai balik arah dan melewatkan semua ini, tentu saya akan menyesal. Meski saya bukan orang yang gampang menyesal, tapi pasti bikin menyesal.

Apalagi setelah pulang ke Lijiang, saya merasa sangat beruntung, dan juga sangat sehat.

Mejik ya.