Sooooo interested to try to answer the question I found in The Book of Question No. 001 by Gregory Stock. Teknologi atau salah satu tanganmu untuk diamputasi? Here’s my thought.
Tahun 1899 silam, Batavia (nama bayi Jakarta) memiliki trem uap sebagai moda transportasinya kala itu. Kemudian muncul delman, oplet, helicak, bentor, sampai sekarang ada mobil beraneka bentuk dan model menghidupi jalanan kota Jakarta, termasuk hidup saya. Sejak lahir saya sudah berhubungan dengan kendaraan bermotor. Mama ke rumah sakit naik becak untuk melahirkan saya, lalu pulang dari rumah sakit naik mobil pribadi dengan saya sudah ada nyata di dunia. Sampai ketika kuliah saya dihadiahi mobil pribadi, saya selalu kemana-mana dengan mobil. Oke mungkin akan naik motor ketika pacaran atau main sama teman karena kadang membawa mobil cukup merepotkan, jika melihat padatnya jalan raya. Tapi itu juga kendaraan bermotor bukan? Saya pun suka naik busway atau Gojek (you know I hate Angkot and ugly bus if I have to go alone, sudah beberapa kali kena sial di kendaraan serampangan itu).
Jika membahas Jakarta, orang-orang banyak mengeluh membenci macet dan polusi kendaraan yang setiap saat, gak pernah absen mengintili ibu kota ini. Kota hiruk, kota padat, kota mall (iya, ada lebih dari 170 mall di Jakarta!), kota investor asing, kota teraktif di Twitter, anything you name it. Kemana-mana di Jakarta gak bisa pake jalan kaki (jangan bawel soal ke Indomaret, ini perumpamaan kalo ke mall karena saya anak mall). Saya sangat sangat mengandalkan kendaraan bermotor.
Dan pikuknya Jakarta (juga termasuk jika di kota lain, karena saya pernah tinggal di beberapa kota di Indonesia), mendukung sekali untuk melakukan komunikasi melalui alat canggih seperti telepon, handphone, pager (haha), tab, note, dan komputer. Saya hidup dengan alat komunikasi ini dimulai sejak SD, saat saya menggunakan telepon untuk menelepon Bapak di kantor dan dua orang tetangga, untuk memastikan mereka ada dirumah lalu bisa kita titip kunci kalo pergi. Melihat hidup saya sekarang, mengkonsumsi semua device itu jauh lebih rutin ketimbang minum air putih. Di kantor, saya setengah mati mengandalkan komputer untuk bekerja dan mencari informasi. Smartphone (lebih tinggi kastanya dibanding saya tulis dengan handphone) juga gak pernah lepas, dan gak pernah berhenti untuk menghubungkan saya dengan teman di kantor sebelah, di pulau seberang, atau suami. Saya pun pengguna tablet untuk membaca e-book. Jadi gak ada satu pun hari saya akan lewati tanpa gadget dan komputer.
Tapi, jika saya perlu memilih. Saya lebih setuju jika saya kehilangan itu semua -komputer, smartphone, tablet, tv, mobil, motor- daripada harus kehilangan satu tangan saya. No matter how much I live with a lot of communication devices or go anywhere with motorized vehicles, basically, I’m a manual type of person. Buat saya, kedua tangan adalah harta yang bahkan dua juta iPhone pun gak bisa menyamakan posisi keberhargaannya. Saya senang menyentuh, bergandengan, memeluk. Saya bahagia ketika menulis, menggambar, membaca buku (the real book,I mean). Saya bersemangat meraba angin dalam setiap petualangan yang mungkin hanya bisa saya tempuh dengan berjalan kaki. Saya bergairah ketika mendayung, berenang, yoga. Dan saya lebih merasa hidup ketika dapat menikmati mereka dengan kedua tangan, tanpa menggenggam smartphone atau naik kendaraan sendiri.
Bagaimana denganmu? Apa yang kamu pilih? Do we have something to argue here? Let me know!
2 Comments. Leave new
Tangan aku tiga, satunya agak di bawah
ikan cupang