Welcome Swarnadwipa! Welcome Sumatera!
Horrraaaayy. I’m officially in Sumatra. Alhamdulillah Tuhaaan akhirnya sampe juga. Well, perjalanan dua hari naik bus dari Yogyakarta bikin umur saya seolah habis di perjalanan. Untung saya punya pantat yang elastis dan kembali ke bentuk semula, jadi lah habis tepos kembali membulat setelah sampe di Pagaralam. (Oke, maaf saya sadar ‘membulat’ bukan lah kata yang pantas, lebih baik disebut kembali ke bentuk semula. Kalo kalian pikir itu hanya bisa terjadi di sebuah pembalut, maka sekarang kalian harus sadar jaman sudah berubah, man).
Ini adalah perjalanan dengan bus yang paling lama seumur hidup saya. Dan kalian harus tau bus macam apa yang sempat membuat saya was-was dan prihatin setengah mati karena saya pikir akan diantar ke akhirat, bukan ke Pagaralam. Mari berimajinasi.
Bus itu berwarna oranye (busuk). Mmm, seperti apa yaa… mmm.. oh! Metro Mini. Warnanya oranye (busuk), dengan garis lengkung biru tua (busuk) dan oranye tua (busuk), bertuliskan Sinar Dempo dengan font miring. Lampunya berstikerkan gambar mata ‘no fear’, lalu jendela yang udah lumayan burem, hiasan jendela boneka berbuntut panjang, pintunya kaya angkot, dan –yang paling khas, tulisan ‘tersanjung’ di kaca belakangnya. Sinetron dahsyat yang satu ini sepertinya patut diacungi jempol karena memori akan kedelapan serinya mampu memenuhi ingatan masyarakat, baik yang suka mau pun ga suka nonton sinetron. Fakk!
Semua barang-barang udah masuk, orang-orang masuk. Ga ada kursi kosong, ga ada selimut dan bantal, ga ada musik, dan ga ada lampu disko. Bus-nya terasa mengenaskan. (Saya udah berfantasi kalo busnya tu besar –karena katanya sisa 10 seat, warna putih dengan aksen burung walet warna biru dan hijau, ada juga gambar gunung Dempo berwarna biru tua, lalu bentuknya modern sekali dengan pintu yang luar biasa halus ketika dibuka, dan yang pasti ga ada judul sinetron apapun di manapun). Untung AC-nya nyala –rasanya pingin sujud syukur untuk yang ini. Perjalanan panjang ini di mulai.
Yaa perjalanan seperti layaknya perjalanan panjang biasa. Mayoritas kegiatan yang saya lakukan adalah tidur. Mungkin kalo saya akumulasiin, dari waktu 24 jam yang disediakan Tuhan saya pake tidur sekitar 16 jam, sisanya buat ishoma, nyanyi-nyanyi, sama ngobrol. Begitulah terus sampe akhir perjalanan. Di tengah-tengah masa suram itu, ketika saya makan malem di Karang Anyar, saya melihat sesuatu yang –OH, menyedihkan sekali. Bus ajaib oranye kami parkir cantik di tengah-tengah lahan parkir rumah makan, kemudian setelah makan malem, saya dikejutkan oleh dua buah bus yang parkir menengahi bus oranye ajaib kami. Kalian harus tau, itu adalah bus yang (jauuuuuh lebih) memprihatinkan (daripada si oranye). Busnya panjang, warnanya entah, mereknya juga saya lupa. Rute bus itu Surabaya, Medan, dan Palembang (bayangkan bakal seperti apa pantat para penumpang didalam situ, apalagi bagi mereka yang pantatnya belum dilengkapi dengan teknologi ‘kembali ke bentuk semula’), di atap bus ada sebuah bungkusan kotak panjang terbungkus kain terpal oranye, isinya barang-barang para penumpang, ada motor, koper, kardus, mungkin juga ada mayat dan sapi ternak. Bus ini makin miris ketika temen saya menunjuk ke arah jendela: oh bloody larry, bus ini ga ada AC-nya! Saya pun ngeliat seorang nenek masuk dengan lambat ke dalamnya, memperhatikan langkahnya yang gontai dan matanya yang sedih, mungkin kalo si nenek masih punya tenaga untuk berteriak, dia akan berkata: “Anjing! Kenapa gue masih harus naik kendaraan laknat ini, Gusti paringono sabar”. Lalu kenapa saya yang masih muda mengeluhkan si oranye busuk itu? Saya yang masih bisa berjalan tegap dan sigap melangkah kenapa selalu merasa berat ketika harus masuk ke dalam bus? Padahal saya yang masih punya betis segede tales dan perut segede semangka, harusnya lebih kuat naik bus sejelek apapun kan. Aah akhirnya setelah itu pun saya berhenti menghina si oranye. Perjalanan jadi lebih syahdu rasanya. Oke oranye, kita baikan ya sekarang.
Setelah menemukan kebosanan yang menggunung, saya akhirnya maju ke depan duduk di sebelah supir, sekitar pukul 10 malem hari Sabtu. Duduk bersila dengan Yeah Yeah Yeahs bernyanyi dengan semangat, pemandangannya asik juga ternyata. Lampu kendaraan kelap kelip menyilaukan, manuver si supir yang -wuuuuuush, udah kaya dewa supir nyawanya ada dua ratus. Berkali-kali saya mirang-miring kanan-kiri, ngesot-ngesot (ops!), ah menegangkan sekali wow! Apalagi supir sama keneknya asik diajak bercanda, hilang kebosanan saya seketika. Tring!
Salah satu bagian ironis bus ini adalah ga adanya pemutar musik, at all. Ga ada pemutar CD, DVD, televisi, kaset, piringan hitam, bahkan radio. Tapi berkat itu kreatifitas bermusik manusia se-bus terasah. Beruntung bawa banyak gitar jadi rencana karokean siap laksanakan! Yihaaaa!
Perjalanan terus berlanjut. Menyebrangi laut Jawa meninggalkan pulau yang udah menghidupi segala nafsu saya selama 21 tahun lebih. Ini waktu terlama seumur hidup saya lepas dari pulau Jawa, pulau yang paling banyak ditunjuk pasar iklan, pulau yang sungguh berkembang super pesat, pulau yang mulai menyentuh hidup konsumtif, dan pulau yang menyenangkan. Semoga saya masih punya kesempatan untuk mencicipi pulau Indonesia yang lain, di kesempatan yang lebih baik. Amin.
Ah, SUMATRA! Saya menginjak Sumatra! Godspeed!
Pulau pisang katanya. Selain bentuknya kaya pisang (kalian tidak berpikir sesuatu yang ‘saru’ kan ketika membahas tentang pisang?), Sumatra juga punya banyak pisang di berbagai pelosoknya, pernah coba pisang kremes Palembang? Uuuh rasanya sejuta nikmat. Lalu rumah makan yang kami datangi hari itu isinya masakan padang semua. (Ya iyalah. Kalo saya KKN di Papua juga makanannya ya masakan papua. Tolol). Banyak makanan daging pedas berkuah, berlemak, berkolesterol tinggi, enak, dan mahal. Oh sepertinya orang sini juga ga terlalu peduli dengan rasa nasi, karena hampir semua tempat makan yang kami datengin nasinya kering, ga pulen. Mungkin karena ada kuah jadi semua teratasi. Itu pendapat saya.
Perjalanan terus berlanjut. Hingga akhirnya kita sampai di Desa Tegur Wangi Baru, Kecamatan Dempo Utara, Kota Pagaralam. Disambut oleh ketua RT yang suaranya mirip sama pengisi suara kakeknya Upin Ipin, kopi hitam manis, dan canda tawa. Cuaca dingin, sejuk, berangin, ceria, lalu menurunkan barang-barang nan nestapa banyaknya. Malam yang menyenangkan. Lalu saya pamit masuk kamar, selimutan, dan terlelap dengan cepat.
Selamat tidur, Tegur Wangi.