Beberapa waktu lalu saya dan Mas Gepeng pergi makan mie jawa di daerah Ampera. Malam itu kita punya misi mencoba tempat makan baru dan dipilihlah si mie jawa ini. Warung mie jawa ini laris banget, parah deh larisnya. Makanya dengan bermodal ‘this is worth to wait’, kami lapang dada menerima pas di bilang kalo pesanan seporsi mie godog nyemek dengan uritan dan nasi goreng akan siap 45 menit lagi.
Kami menghabiskan 15 menit pertama di toko elektronik (yang katanya sih ngasih solusi), selain liat-liat harga, kami berharap bisa jadi penglaris soalnya itu toko sepi banget. Tapi karena kadar komersialitas di muka kita NOL BESAR, tetep aja tokonya ga jadi rame juga. Bingung mau kemana lagi, kita duduk di kursi warung dan menunggu pesanan kita siap (atau setidaknya di inget).
Sepuluh menit pertama, bercandaan dan obrolan masih seru. Tapi lama kelamaan hantu suntuk itu datang dan menggerogoti semangat kita sampai berkerak. Saya malas sekali ngobrol. Menunggu mie yang lama sekali ini bikin saya malas berkomentar, malas berpikir, malas ngapa-ngapain. Gerah membuat semua semakin buruk. Mie jawa ini, sedewa apapun rasanya nanti, tidak akan saya datangi lagi setidaknya dalam waktu setahun kedepan.
Hampir menyerah, kemudian saya teringat apa yang Mas Gepeng lakukan ketika menunggu saya keluar kantor menghampirinya di tempat parkir. Pemandangan yang saya suka sekaligus saya benci. Saya suka melihatnya datang menjemput, tapi saya benci banget melihat dia menunggu sambil menunduk melihat smartphone. Dua hal yang bikin saya geram kalo liat dia begitu. Pertama, menunduk hampir 50 derajat itu sunggu ga baik untuk kesehatan leher dan tulang belakang. Kedua, memangnya menunggu harus selalu diisi dengan memandangi smartphone?
Well, saya ga munafik kalo smartphone (dan social media) bisa jadi cemilan yang cukup asik ketika menunggu. Saya sesekali melakukannya. Melihat kehidupan orang lain, mengetahui apa yang di makan dan di tonton orang lain, yang semua (biasanya) terpajang dengan sangat manis di soc-med karena bantuan filter foto dan hasrat ingin (sedikit) pamer. Tapi kemudian saya menemukan aktivitas lain yang buat saya, jauh lebih menarik daripada menunduk memandangi smartphone yang entah apa isinya.
Dulu ketika kuliah, saya sering pergi sendirian entah ke kafe, toko buku, warung burjo, atau swalayan. Buat saya, aktivitas pergi sendirian adalah salah satu me time yang paling menyenangkan -selain karena waktu itu lagi jomlo ngenes aja. Saya bisa baca buku sambil ketawa-ketawa tanpa perlu memikirkan apa yang orang lain lihat karena I-have-my-own-space-and-you-don’t-in-my-space, saya bisa numpang baca suka-suka, dan yang paling saya suka lagi adalah, saya bebas mengamati.
Saya suka melihat orang-orang. Melihat cara mereka ngobrol satu sama lain, melihat bagaimana mereka mendengarkan, dinamika yang muncul di antara suatu kelompok, bagaimana satu orang merespon lingkungan, atau melihat ruangan tempat saya duduk apakah ada hal yang aneh atau menarik. Pernah saya ketawa ngakak sendirian pas berhasil ngeliat seseorang ngerjain temannya sendiri sampe jadi tontonan hampir satu kafe. And obviously, its pretty fun hahah. Kebiasaan itu terus saya lakukan sampai sekarang khususnya pas lagi menunggu. Daripada dongkol nungguin orang atau hopeless nungguin kapan itu makanan datang, saya lebih suka menjadikan waktu menunggu sebagai me time.
Kalian bisa mulai mencoba. Rasakan kalau mengamati lingkungan sekitar jauh lebih asik dari pada refresh Path terus-terusan atau kepo-terus-iri-terus-gigit-jari di Instagram orang lain atau yang paling old-school, liat update-an feeds di BBM (cuy hari geneeee). Lihat bagaimana tempat makan yang sedang kalian singgahi itu di susun, kenapa mereka menggunakan warna hitam dan coklat sebagai warna utama, apa efeknya buat pandangan kalian, lihat juga bagaimana orang-orang merespon pelayan yang ogah-ogahan, itu seru banget lho.
Rasanya, ketika bisa khidmat mengamati dan ikut merespon apa yang diamati, yang didapatkan terasa jauh lebih banyak daripada ngeliat social media. Sedang menunggu atau pun memang sedang pergi sendirian, look around you. Ga usah bawa-bawa status jomlo terus jiper liat orang pacaran atau lagi suntuk kerjaan terus sirik liat orang santai banget kerja sambil makan di kafe. Nikmati aja yang dilihat, no offense, its a gift.
So what I’ve got in this javanese noodle stall -after the boredom? Melihat sepasang terong-terongan dan cabe-cabean menunggu makanan sambil menghemat es teh manis mereka, melihat usaha seorang ayah yang menjaga rasa lapar ketiga anaknya agar tidak berubah menjadi kantuk dan rengekan, melihat sepasang ibu-ibu yang sudah dongkol setengah mati nungguin mie sampe akhirnya ga ngobrol sama sekali, dan melihat sepasang suami istri yang mudah sekali bosan karena baru 10 menit datang, wajahnya udah berubah masam.
Dalam sebuah kotak kecil berukuran 4x3x3, ada berbagai cerita yang diselimuti oleh rasa gerah, kesetiaan, interaksi sederhana, dan dedikasi. Mungkin suatu saat saya bisa membuat cerita dari hasil pengamatan.
Selamat hari Sabtu. Selamat mengamati.