
Suatu siang saya melakukan review buku agenda tahunan, karena udah mau akhir tahun saya mau ingat-ingat apa saja yang udah saya lakukan, usahakan, lewatkan, inginkan, pernah saya rencanakan, dan semacam-macamnya agenda hidup lah. Ada bagian yang menarik yang sempat membuat saya kaget juga: wishlists.
Kalo diterjemahkan wishlists itu daftar-daftar keinginan saya, yang pemenuhannya entah dalam waktu dekat atau jangka panjang. Bulan Februari tertulis ada 10 daftar keinginan, diantaranya ada turun berat badan 5 kilo tapi tenaga ga berkurang, sebuah tas klasik di Malioboro (yang lumayan mahal), sepatu wedges yang saya liat di sebuah department store terkenal, ngarung di luar pulau Jawa dan Bali, IPK sampe >3,25 di semester 6, KKN ke Sumatra, dan punya kucing (Sebenernya masih ada lagi tapi kayanya tabu buat ditulis, hehehe).
Dari semua keinginan itu yang ga kesampean (sampe sekarang) adalah tas klasik, ngarung di luar Jawa dan Bali, dan turun berat badan. Wishlists bulan Februari saat itu adalah wishlists jangka panjang. Kemudian begitu terus tiap bulan, saya selalu membuat wishlists. Sampai di bulan Oktober, saya ko rasanya gerah sama wishlists yang jangka panjang itu karena saya harus nabung tiap bulan buat beli apa yang saya pingin di bulan-bulan berikutnya, wishlists itu akhirnya kebanyakan bentuknya kaya suatu rencana besar, nah rencana besar itu kan enaknya cuma satu. Akhirnya saya mulai bikin wishlists jangka pendek.
Bulan Oktober saya kepingin punya sebuah floral dress yang feminin, leigh wedge women-nya crocs, dan beberapa things-to-buy yang kecil-kecil kayak sereal, kaos polos, body butter rasa almond, sabun cair wangi markisa, dan lain-lain. Dan semua hal itu harus (beneran, HARUS) dipenuhi di bulan Oktober. Kalo ada satu yang ga ke beli, apalagi wishlists utama, saya akan mengalami kecemasan dan ngerasa adanya tekanan kaya, “astaga kepikiran terus sama sepatu kemarin, aaah besok harus beli no matter what happen!”. Begitu juga bulan November, dalam satu tahun ini saya kira bulan November adalah bulan yang plaing-paling-paling boros.
Wishlists saya aslinya cuman sedikit, tapi ternyata bulan ini ada yang namanya wishlists (damn) effects, itu tuh kaya pas saya memenuhi keinginan saya, ada buntut yang seolah-olah ‘mengajak’ saya untuk beli lagi dengan model yang berbeda, dan keinginan untuk belanja lebih. Misalnya pas awal bulan saya pingin beli stripes wedges (oke, kalian akhirnya tau kalo saya suka banget sama sepatu jenis wedges—selamat ya) yang harganya nyaris setengah jatah bulanan saya. Kemudian saat itu udah terpenuhi saya buat wishlists baru di bulan yang sama yaitu tas leather item merk apapun. Itu juga udah terpenuhi (juga dengan tas hitam lain yang saya beli mendadak karena window shopping sialan) daaaaan saya bikin wishlists baru dong—yellow high heels mary-jane dan sebuah celana jins yang oke punya. Yang menyebalkan adalah wishlists yang terakhir ga bisa terpenuhi karena uang saya udah abis-blas! Bahkan buat beli tiket kereta pulang aja saya ngutang!
Apa yang terjadi dengan wishlists saya? Dengan keinginan-keinginan yang sangat banyak. Ada apa sama saya?
Untuk informasi aja, saya bukan anak konglomerat, atau wirausahawan mutakhir, atau anak seorang anggota MLM sukses, apalagi direktur utama perusahaan yang biasa bikin proyek triliunan rupiah. Jadi saya adalah anak petani? Bukan, saya hanya mampu mengatur keuangan dengan baik, menekan beberapa kebutuhan untuk kebutuhan yang lain, dan memiliki pemikiran jangka panjang yang lumayan bagus ketika membeli suatu barang. Tapi bukan itu yang mau saya soroti disini, melainkan tentang shopping spree that make us defense about rejecting, how a little store able to make us happier than we eat double-delight-creamy ice cream?
Dari dulu saya suka belanja – begitu juga dengan banyak orang-orang hedon yang lain. Baru sekarang saya paham kenapa belanja membuat saya merasa lebih baik adalah pas belanja, hormon dopamin saya keluar sampe banjir, akhirnya bikin saya relaks bukan main. Sama seperti parfum wangi almond yang selalu saya pake pas mau belanja, wanginya mendorong hormon menyenangkan itu mengalir dan membuat saya nyaman untuk belanja (mungkin ini bisa jadi tips). Apalagi bulan Oktober dan November saya sering banget mumet (baca: pusing karena banyak pikiran), jadinya membeli suatu barang jadi doping yang manjur.
Toko-toko (yang berkualitas) juga menerapkan tata letak terkonsep supaya bisa bikin pengunjung tenggelam di dalamnya dan menghabiskan uang mereka untuk membeli barang-barang yang entah dibutuhkan atau nggak. Bahkan ada taktik-taktik tertentu supaya kita beneran feel so in peace, calm, then come to see thru inside, inside, inside, dan akhirnya keinginan untuk memiliki itu muncul (karena barang-barang di toko itu bagus, siapa yang nggak mau punya gitu?).
Ada sebuah toko di Jepang, The Matsuzakaya department store yang sukanya semprot-semprot wangi untuk menstimulasi siapapun yang menciumnya datang masuk melihat dan membeli. Malah wanginya ga hanya satu macam. Jadi yang pertama tujuannya untuk membuat orang merasa santai, calm, terus wangi yang berikutnya adalah untuk membuat orang bersemangat, bergairah, dan lebih ‘ringan’ dalam melakukan hal apapun (dan pastinya wangi kedua disemprotnya pas pengunjung udah masuk ke dalam – licik? Bukan, itu pinter namanya).
Ada lagi taktik yang lain, pake wangi kue. Saya kalo lagi jalan-jalan ke mol, lalu lewatin J.Co Donuts dan nyium baunya yang manis dan seolah teriak-teriak ”Come in and bite me! Come in and bite meeeee!!!”. Ternyata taktik itu tujuannya adalah untuk mensugestikan orang yang mau belanja berpikir, “Perut gue ga boleh kosong kalo mau belanja, jadi ngemil dulu deh”. Jadi tiap lewat J.Co, saya selalu beli J.Cool yang gelas buat bekal ‘perjalanan spiritual saya bernama belanja (atau cuma jalan-jalan sekedar liat-liat barang)’. (Saya meneliti diri saya sendiri dan ternyata emang bener, lima kali saya mau belanja dan lewatin J.Co, saya selalu membeli J.Cool untuk teman jalan-jalan meskipun saat itu saya ga sendirian – sekalian buat pengocok perut, hehehe).
Yang menarik (soal wangi-wangian pas belanja), seorang brand futurist bernama Martin Lindstrom mengatakan “when we smell something, that odour receptors in our noses make an unimpeded beeline to our limbic system, which controls our emotions, memories, and sense or wellbeing” (dikutip dari majalah Readers Digest Asia edisi Desember 2011, halaman 48). Surprisingly, smelling while there’s a shopping spree contribute to our psychological needs.
Misalnya kamu mencium wangi coklat di sebuah toko, maka kamu akan merasa sangat tenang, kecemasan dan stres yang ada jadi hilang (begitulah hasil penelitian Middlesex University soal wangi-wangian favorit di perbelanjaan). Selain itu, brand berpengaruh dengan seberapa tinggi pengaruh benda tersebut terhadap psikologis si pembeli. Model barang-barang happening kaya iPad, iPhone, tas Guess, parfum a la Sarah Jessica Parker, sling bag coklat Zara, secara langsung bikin yang pake jadi punya status sosial lebih dan mungkin bisa membuat si pemilik merasa lebih nyaman dan percaya diri. Tanyakan itu pada diri kita. Jangan tanya pelayan toko.
Itu hal-hal yang ternyata menjadi latar belakang kenapa belanja itu bikin nagih. Bukan saya mau bilang kalo belanja itu satu-satunya hal yang bisa membuatmu bahagia, tapi sebagai salah satu kontributor berbakat. Kebahagiaan mungkin bisa dicari, tapi yang saya yakini benar kebahagiaan kan bisa diciptakan.
Saya membuat belanja sebagai salah satu alat saya menciptakan kebahagiaan, selain itu saya juga membuat keliling-keliling sendiri dengan mobil di malam hari, makan es teler tepat jam 12 siang, ke toko buku sendiri sepanjang sore, SMS Mama dan bilang uangnya masih ada, juga jogging Selasa sore bersama 20 orang lebih teman, jadi senjata untuk saya semakin menikmati hidup. Klise memang, tapi siapa lagi yang bisa mengusahakan kebahagiaan saya kalo bukan saya sendiri?
Kembali ke titik awal soal wishlists. Tidak salah jika kita menginginkan sesuatu, ingin pakai sepatu bagus atau kemeja yang sangat fit sehingga kita merasa jauh lebih menarik dari sebelumnya. Namun jangan lupa, wishlistss is not always about things, but also some ‘things’. Saya udah seharusnya mengubah cara saya menentukan apa aja yang jadi wishlists saya.
Sebentar lagi tahun baru datang, apakah pencapaian setahun itu ditentukan dengan sepatu apa aja yang udah di beli, baju apa yang udah dikenakan, tas warna apa aja? Bisa aja sih kalo emang mau. Tapi kalo pencapaian isinya IPK udah sampe cumlaude di semester akhir, bisa bahasa Prancis kelas intermediate, bisa masak ikan gurame asem manis, tugas paper kuliah dipajang dosen di majalah kampus, bisa ngarung ke Sulawesi, ikutan student exchange ke Jerman, bisa jogging 5 menit satu puteran, bisa ngurangin konsumsi karbo, bisa bikin flash, presentasi ditepoktanganin orang sekelas, menang kejuaraan arung jeram tingkat nasional, rasanya bukan cuma kenyamanan dan ketenangan aja yang bisa dirasain, wellbeing, self eficacy, self esteem, self respect, self disclosure, the others ‘self’titled, terus kebanggaan terhadap diri sendiri karena usaha yang udah kita buat untuk membuat diri sendiri berasa ‘lebih’ meskipun tanpa tas leather, sepatu stiletto, sunkissed make up, super-comfy skinny jeans, crop-tees, ataupun elemen nempel lainnya.
Because shops have ways of making you buy! So it’s better to leave your wallet at home and use your eyes to boost your mood. See the world from within.
2 Comments. Leave new
justin..simpan ATM card atau Credit card-mu di lemari sana..hand phone juga lah ya..lalu pergilah sana jauhh, bawa uang secukupnya, take a long ride.. 😛
..germany, nice choice 🙂 gute Nacht
justin, senang bertemu denganmu. disini. meski bukan "disini". dan selalu senang setiap membaca kata-katamu.
wishlistttt, aku merasakannya juga tin, dengan wish yang kubikin penuh.
belanja. hmm bener itu tinnn
dan yang membuat aku terkadang duduk di pinggir trotoar mandang rumput di pertengahan jalan adalah "apakah ini penting ? apakah ini yang sungguh sungguh penting". perasaan aneh yang langsung membuatku berdiri nyetop bis, pulang, mengistirahatkan gelora belanja yang menjelaga.
try to be hippisss
utin cantik utin sayang,lewat kalimat ini : "ataupun elemen nempel lainnya"-itu adalah kalimat paragraf penutup yang super duper magical
dari judulnya aku bertanya, hmm buy magic? apakah iya keajaiban itu bisa dibeli. pernyataan selanjutnya adalah iya dibeli dengan bagaimana, lewat jalan sebelah mana. pemaknaan kata -buy itu sendiri udah terkonsep membeli dengan menukar sesuatu. yup, terimakasih utin. love you to the bones