Pagi tadi saya berangkat kantor naik Gojek dengan driver bernama Pak Winoto. Saya di jemput pukul 6.43 dan perjalanan terasa panjaaaang karena Pak Winoto menyetir pelan sekali. Meskipun tidak khawatir terlambat karena alokasi waktu yang saya siapkan lumayan panjang, tapi sebenarnya saya gregetan untuk minta Pak Winoto menambah kecepatannya. Urung dilakukan, saya memilih untuk menerima ‘kecepatan’ Pak Winoto sebagai ‘sesuatu yang diberikan untuk saya’.
Beberapa waktu lalu saat saya harus menghadapi asesmen pencapaian kinerja, saya bersama tiga orang teman lainnya hom pim pah untuk menentukan urutan. Saya kalah suit, berarti akan menjadi yang terakhir untuk di asesmen. Hati saya bergejolak dan perut saya melilit membayangkan menjadi yang terakhir dan mungkin akan memakan waktu lebih lama dari yang sebelum-sebelumnya. Alih alih meminta tukar urutan –karena saya yakin teman saya akan sukarela melakukannya, saya mencoba tenang dan menerima urutan itu sebagai ‘sesuatu yang diberikan untuk saya’.
Pelajaran ini lumayan sulit, mengingat saya cukup impulsif dan selalu terburu-buru mengambil kesimpulan sehingga tidak menyadari ada hal yang memang seharusnya tidak saya ubah. Hal yang memang diberikan untuk saya. Diberikan untuk saya terima, bukan untuk saya ubah.
Selalu mudah mendefinisikan apa yang kita mau, tapi ketika mencoba memahami apa yang kita butuhkan, hidup akan terasa lebih mudah. Semesta paling tau apa yang kita butuhkan. Yang perlu kita lakukan adalah menyadarinya dan paham apa maknanya.