Hari Minggu kemarin, saya mendapati salah satu grup WhatsApp sedang berbagi berita soal mahasiswa yang meninggal setelah terpeleset ke kawah dari Puncak Garuda Gunung Merapi. Salah satu teman pun mengirim sebuah capture screen tulisan orang lain (baca: dia pernah melakukan hal serupa, dia selfie terus caption-nya panjang banget) yang menyebutkan kalau aktivitas ini sangat precious untuk dilakukan dengan alasan Y.O.L.O. Cuy, serius?
Saya bukan penggiat mendaki gunung, tapi saya bukan tidak pernah merasa hampir mati karena beraktivitas di alam. Lima tahun silam saya pernah arung jeram di Kali Progo section bawah which as known as the biggest river in Central Java that time. Sebelum erupsi Gunung Merapi di akhir 2010, Kali Progo adalah sungai paling sangar yang pernah saya arungi.
Akhir pekan siang itu kami bertujuh di perahu karet dan satu orang di perahu kayak mengarungi Kali Progo. Kondisi saat itu air normal tinggi, cuaca panas terik, dan tidak ada pengarung lain selain kami. Skill orang dalam perahu karet paling tinggi grade 3+ dan paling rendah grade 2+. Semua persiapan mulai dari latihan, jogging, briefing kegiatan, dan persiapan lain yang menunjang pengarungan di akhir pekan sudah kami lakukan dengan maksimal. Percaya diri dan yakin dengan teman satu tim jadi pelengkap kita berani arung jeram di sungai yang pernah menewaskan dua senior kami puluhan tahun silam.
Tapi pengarungan tidak semulus yang kami harapkan. Kami mengambil jalur yang salah dan mengakibatkan perahu kami masuk dan terjebak di hole besar tengah-tengah sungai. Lima orang “tumpah”, dua orang tersisa di atas perahu. Yang buruknya lagi adalah kami ada di tengah jeram paling panjang di sungai itu and it was really such an nightmare rapid I’ve ever tried: Jeram Fear.
Saya dan beberapa teman lain hanyut dan harus self rescue di jeram sepanjang 300an meter. I told you that I felt I’m gonna end my life here, my last breath is in the water, deep down in the river. Saya beberapa kali terjebak dalam pusaran air yang bentuknya seperti pusaran mesin cuci. Saya tidak bisa meraih permukaan. Saya tidak bisa bernafas sama sekali. Tiba-tiba saya melihat bayangan Mama, wajahnya tanpa kacamata, memakai daster, memandang pasrah. Mengerikan. I closed my eyes, I can’t pray, I can’t cry. Lalu, dalam sepersekian detik yang tidak berasa, ada arus di bawah kaki yang mengayunkan tubuh saya dan seketika saya melihat cahaya. Saya mencapai permukaan dan meraup udara sebanyak-banyaknya, entah ada apa di depan, kanan, kiri, belakang, pokoknya saya bernafas dulu. Beruntung dayung, pelampung, helm, peluit, kacamata, semua masih lengkap melekat menjaga hingga saya bisa aman tanpa celaka tambahan.
Saya luar biasa bersyukur saat akhirnya bisa mencapai daratan. Saya menangis sejadinya dan kemudian di peluk oleh teman yang lain. And after that, I promised I will practice better.